Dalam salah satu pidatonya yang bergelora, Bung Karno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli!”
Seringkali
kita menganggap bahwa pendidikan karakter adalah suatu hal yang tidak perlu di
era modern. Perkembangan tata cara bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
seakan melunturkan nilai-nilai kepribadian dan karakter bangsa yang terkandung
dalam Pancasila. Konsep kemanusiaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial
adalah beberapa dari nilai Pancasila yang seakan dikesampingkan oleh
orang-orang yang mencari keuntungan pribadi, termasuk yang berkaitan dengan
nilai-nilai karakter negara maju seperti kejujuran, tauladan, dan integritas.
Pemerintah
Indonesia telah meluncurkan 18 nilai karakter yang dirumuskan oleh Dinas
Pendidikan Nasional. Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, telah
menentukan “Pendidikan Karakter untuk
Keberadaban Bangsa” untuk disisipkan pada kurikulum pendidikan sejak tahun
2011. Adapun 18 nilai karakter tersebut antara lain: Religius, Jujur,
Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin
tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi,
Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli
sosial, dan Tanggung jawab.
Melihat
peluncuran 18 nilai karakter ini sudah memasuki tahun ketiga, apakah sudah
diterapkan pada proses belajar-mengajar di tiap jenjang lembaga pendidikan? Atau
mungkin justru siswa sendiri belum tahu tentang 18 karakter yang dimaksud? Jika
begitu, mengapa pemerintah terkesan pasif dalam penyebaran informasi perihal
kehadiran 18 nilai karakter yang dicanangkan oleh Dinas Pendidikan Nasional ini?
Tidak seperti informasi tentang penyalahgunaan kekuasaan yang selalu dibahas
tak kunjung henti oleh media. Padahal kita tahu bahwa salah satu sarana
penyebaran informasi dan doktrin yang efektif adalah melalui media, baik media
cetak atau elektronik.
Kita
sebagai warga negara Indonesia yang peduli dengan krisis karakter yang sedang
menimpa bangsa ini tidak bisa hanya prihatin dan menunggu pahlawan super datang
merubah kondisi Bumi Pertiwi. Bila kita tahu pemerintah “kesulitan” dalam
mengakomodir nilai-nilai karakter ini, dan kita tahu bahwa lembaga pendidikan
terkesan “angin lalu” menyisipkannya dalam proses pembelajaran, maka adalah
tugas kita sebagai generasi yang menginginkan perubahan untuk ikut menanamkan 18
karakter ini. Tanggung jawab kita untuk berperan aktif “membangkitkan” kembali
nilai-nilai karakter yang terkandung dalam ideologi bangsa, yaitu Pancasila,
yang tercermin dalam 18 nilai karakter tersebut.
Sebagaimana
negara-negara yang sempat terkena krisis moral seperti Cina dan Jepang, mereka
mampu bangkit dari keterpurukan karena masyarakatnya memiliki karakter dan jati
diri bangsa yang tebal sehingga dapat membuat bangsanya menjauhi degradasi
moral. Indonesia pun pernah mengalami krisis yang mempengaruhi alur kehadiran
bangsa yang dimulai sejak era reformasi. Sudah 15 tahun bangsa ini menjalani
reformasi, tetapi semakin jauh seakan semakin meninggalkan harapan dan cita-cita
reformasi yang mendambakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berlandaskan Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Indonesia
sendiri merupakan negara yang kaya akan potensi sumber daya alam maupun sumber
daya manusia. Orang Indonesia tidak sedikit yang cerdas, bahkan semakin banyak
orang Indonesia yang berprestasi tidak hanya di level nasional, namun sampai ke tingkat internasional. Keadaan
yang demikian semakin menguatkan label bangsa Indonesia sebagai “gudangnya” sumber
daya manusia yang berkualitas dan tidak kalah dari negara-negara maju. Ini
adalah potensi yang luar biasa untuk menahbiskan Indonesia menjadi negara maju apabila
didukung dengan karakter masyarakatnya yang teguh memegang prinsip-prinsip
Pancasila.
Bila Cina dan
Jepang mampu bangkit karena nilai-nilai karakter yang kuat diajarkan dalam tiap
sendi kehidupan bermasyarakat (bottom up)
serta ketauladanan serta komitmen yang kuat dari para pemimpin bangsa (top down), maka Indonesia pun harus
menerapkan hal tersebut agar character
building yang didambakan tidak sekedar wacana dan menjadi program hangat-hangat tahi ayam.
Sudah mulai
banyak para pemimpin bangsa yang gencar menekankan akan pentingnya pendidikan
karakter, baik dalam seminar maupun pidatonya. Mereka juga semakin terdorong
untuk “bersih” dalam bekerja dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, bukan
kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Tentu hal ini harus kita dukung
dari bawah (bottom up) agar terjadi
sinkronisasi antara pemerintah dan rakyat yang bekerja sama dan satu pemikiran
untuk lebih menanamkan nilai-nilai karakter bangsa melalui pengamalan 18
karakter di atas.
Sebagai
masyarakat Indonesia yang peduli akan hal ini, ada baiknya bila sejalan dengan
slogan Talk Less Do More yang berarti
lakukan tindakan lebih banyak daripada hanya berucap. Dalam Islam juga pernah
disampaikan bahwa satu ketauladanan lebih baik dari seribu perkataan. Inilah pe-er kita sebagai generasi penerus
cita-cita bangsa. Tanam dan implementasikan nilai-nilai luhur Pancasila. Glorifikasikan
18 nilai karakter ini melalui sarana yang ada. Ubah mindset dan karakter kita untuk mulai menjauhi karakter pembodohan
yang justru akan menenggelamkan bangsa ini. Atau bahkan lebih parah, menjadikan
bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli!
Character building harus ditanamkan pada
jiwa tiap warga Indonesia mulai saat ini juga. Lirik lagu kebangsaan Indonesia
Raya pun mengatakan “...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya...” yang
menunjukkan bahwa yang harus dibangun pertama kali adalah “jiwanya”. Tumbuhkan
komitmen untuk membangun jiwa bangsa yang berkarakter dalam relung hati kita. Mari
bersama-sama kita tumbuhkan kepedulian akan masa depan Bumi Pertiwi. Bagaimana
anak cucu kita nanti apabila bangsa Indonesia semakin terpuruk? Apakah kita
tega melihat mereka menanggung keapatisan kita di masa lalu sehingga mereka
diremehkan oleh negara lain dan disebut bangsa kuli? (*don)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar