( oleh : Ahmad Doni Meidianto )
Senja itu terasa berbeda. Matahari bersinar dengan anggun dan angin leluasa menari bebas di tengah suasana kota Palembang yang sejuk. Tampak seorang remaja tengah sibuk menulis karangan cerpen di kamarnya yang sempit diiringi alunan music slow menggunakan ear-phone. Remaja itu bernama Indah, siswi di salah satu sekolah yang tergolong “biasa” di Palembang. Suara helaan nafas seringkali memecah keheningan diiringi sekaan peluh yang membasahi wajahnya.
Sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Indah memang sudah terpikat dengan dunia tulis-menulis. Buku-buku yang “berbau” itu pun telah banyak yang ia “lahap,” dan tak lupa ia juga rajin “berseluncur ria” di dunia maya demi bertambahnya ilmu di bidang jurnalistik tersebut. Ia memang bercita-cita menjadi penulis profesional, hingga kelak namanya takkan hilang ditelan oleh sang waktu.
Memang sesekali tulisan yang ia kirimkan dimuat di surat kabar setempat, bahkan tidak jarang ia mendapat “bayaran” dari tulisannya itu. Hal itu dilakukan demi menuntaskan kebutuhan psikologisnya, dan kalau “beruntung”, ia dapat mengurangi beban orang tuanya setidaknya dalam hal uang saku. Namun kali ini motivasinya berbeda. Ia ingin mempersembahkan cerpennya untuk sahabat yang tertimpa bencana, terkhusus kepada mereka yang terguncang gempa di daaerah Sumatera Barat. Ya, Indah merasa sangat sedih ketika mendengar berita dari bencana tersebut. Ia terbayang wajah anak-anak yang harus kehilangan tempat tinggal dan kasih sayang kedua orang tuanya akibat ditelan sang bumi.
“Indah, makan sini, ayo. Bareng ayah,” panggil ibunya dari arah ruang makan yang sedang menyiapkan hidangan malam.
Indah pun bergegas menuju ke ruang makan. Tiba-tiba, ia teringat tentang sebuah perlombaan menulis yang diadakan oleh majalah Marella. Lomba tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu lomba menulis dongeng dan lomba menulis cerpen. Ia pun memilih mengikuti perlombaan menulis cerpen ketimbang menulis dongeng, karena menurutnya, menulis cerpen cakupannya bisa lebih luas dari dongeng.
“Bu, liat majalah Marella yang dikamar gak? Indah nyariin dari tadi kok gak ada,” tanya Indah sambil melahap masakan olahan ibunya.
“Oh, ada di kamar ibu. Tadi ibu pinjem buat liat resep masakannya. Nanti ambil aja di kamar ibu,” jawab ibunya.
Selesai santap malam bersama ayah dan ibunya, Indah langsung mencari majalah tersebut dan mulai memutar otak agar tulisannya dapat dimuat di majalah itu. Tujuannya agar para pembaca sadar bahwa mereka semua bersaudara dan nantinya berbondong-bondong membantu saudara-saudara mereka yang tertimpa musibah, tidak melupakan atau membiarkan mereka “terkapar” tak berarti. Itulah harapan yang ada di benak Indah.
***
Keesokan harinya, Indah tidak pergi ke sekolah karena badannya terindikasi terserang penyakit tipes, sehingga ia memiliki banyak waktu luang untuk membimbing penanya membuat sebuah tulisan yang kelak menggerakkan hati bangsa. Ia mengangkat dilema masyarakat Sumatera Barat dan membalutnya dengan kalimat-kalimat yang menggugah “selera” masyarakat Indonesia, khususnya pembaca. Tak lupa ia tuliskan saran dan masukan bagi bangsa Indonesia untuk berperan aktif dalam upaya membantu saudara sebangsa dan setanah air.
Tak terasa, matahari tengah berada pada puncak klimaks menerangi bumi menandakan hari sudah siang. Terdengar suara anak-anak kecil berlalu lalang di sekitar rumahnya seolah mengisyaratkan kepada Indah untuk berhenti sejenak.
“Selamat siang. . .”
“Indahnya ada tante?” terdengar seseorang bertanya kepada ibu Indah.
“Oh, ada. Sebentar ya, tante panggilkan dulu. Kamu duduk aja di dalem, nanti tante buatin minuman” kata ibu Indah seraya mempersilahkan orang tersebut masuk dan bergegas menuju ke kamar Indah.
Indah yang memang sudah tahu kedatangan seseorang melalui suaranya itu, bergegas menuju ke ruang tamu. Ibunya pun langsung menuju ke dapur untuk membuatkan minuman.
“Oh, Mira. Apa kabar? Ngapain kamu kesini, kangen ya sama aku,” canda Indah dengan suara sedikit bergetar karena merasa kedinginan.
“Bisa aja kamu. Denger-denger, kamu kena gejala tipes ya? Nih, aku bawain catatan pelajaran di sekolah tadi. Daripada kamu ketinggalan, gak seru dong kalo kamu gak masuk 3 besar di kelas,” jawab Mira santai sambil meminum minuman yang dibuatkan ibu Indah.
“Iya sih. Makasih ya Mir. Kamu emang sahabat aku yang top-cer deh,” balas Indah dibarengi senyuman sejuk sehingga membuat suasana siang itu sangat bersahabat.
Selesai mereka bercanda tawa sejenak, Mira pun berpamitan untuk pulang. Tak lupa ucapan terima kasihnya kepada Mira mengalir dari mulut Indah di akhiri dengan pelukan hangat. Indah pun kembali melanjutkan aktifitasnya setelah selesai makan siang yang ditemani ibunya.
Sampai matahari bersembunyi dan meneruskan pembagian cahaya kepada makhluk-Nya di belahan bumi lainnya, akhirnya cerpen karya Indah pun selesai. Indah merasa puas bercampur was-was berharap cerpennya akan dimuat di majalah Marella dan mengubah sudut pandang pembaca tercinta. Akhirnya ia memilih besok hari untuk memberikan cerpennya kepada panitia sepulang sekolah.
***
Sepulang sekolah, Indah langsung menuju ke kantor bagian redaksi dari majalah Marella. Setelah menyater ojek selama 10 menit, ia pun tiba di depan sebuah gedung bertingkat 3 yang berada persis di pinggir jalan. Setelah memantapkan serta membulatkan tekadnya, ia segera masuk ke dalam gedung itu dan langsung mencari bagian redaksi penerbitan majalah tersebut. Ternyata, telah banyak orang-orang sebayanya, atau bahkan lebih tua dan lebih muda darinya telah berbaris menunggu giliran untuk menyerahkan cerpennya ke penerbit. Indah dengan sabar menunggu antrian tersebut sambil berbisik kepada dirinya bahwa karyanya tidak akan kalah “sehat” dibandingkan karya penulis-penulis lainnya.
Tak terasa, Indah pun mendapatkan gilirannya untuk menyerahkan naskah cerpennya kepada penerbit. Ia langsung masuk dan duduk untuk menyerahkan cerpennya, disertai penjelasan mengenai tujuan dan isi cerpen tersebut. Diluar dugaannya, penerbit merespons positif karya Indah itu. Namun masih perlu dipertimbangkan lagi oleh penerbit dengan meminta saran dari para juri-juri yang lain dan tentunya berpengalaman.
“Tunggu aja di Marella 2 minggu ke depan,” kata penerbit menutup pembicaraan seolah menimbulkan harapan di hati Indah.
Indah pun pulang ke rumah dengan hati gembira, namun tetap berharap cerpennya dimuat majalah itu. Walaupun penerbit sepertinya merespon positif karyanya, Indah memilih untuk tidak takabur atas apa yang dirasakannya barusan. Akhirnya, ia sampai di rumah dan memulai kembali aktifitasnya seperti biasa sambil menunggu pengumuman pemenang lomba tersebut.
***
Tibalah hari pengumuman itu, tepat 1 minggu setelah redaksi menutup penerimaan tulisan perlombaan tersebut. Sepulang sekolah, Indah langsung membeli majalah Marella di kios majalah terdekat lantaran ingin melihat pemenang-pemenang dari perlombaan yang diikutinya. Setelah majalah itu sudah berada di tangannya, ia sibuk membolak-balik halaman majalah itu untuk mencari pengumuman pemenang.
Pengumuman Pemenang Lomba Menulis Cerpen se-Indonesia
Tahun 2009
Juara 1 : Suci Larasati ( Menangis )
Juara 2 : Indah Dwi Ningsih ( Persaudaraan Yang Tercemar )
Juara 3 : Bella Nur Hais ( Roman Sejati )
Juara 4 : Fadhil Rizky ( “AKU” )
Juara 5 : Septian Agustino ( Seindah Pelangi )
Itulah yang Indah baca dari pengumuman pemenang lomba itu. Ia “hanya” mendapat juara 2 dari perlombaan itu, dan beruntung, cerpen karyanya akan dimuat pada edisi Marella selanjutnya 1 minggu lagi. Serta ia pun berhak mendapat penghargaan berupa uang sebesar Rp. 500.000,00. Hal ini menjadi acuan bagi dirinya, untuk terus berkarya dan mempersembahkan sesuatu kepada orang yang disayanginya. Indah tidak kecewa, tapi tidak juga merasa senang. Hatinya bingung bercampur puas, seolah ada sesuatu yang meluap dalam dirinya, tak terasa ia pun meneteskan air mata. Ia terharu bercampur sedih, akhirnya tulisan yang menurutnya dapat menginspirasi para pembacanya dimuat dalam majalah itu. Ia berharap kepada calon pembacanya nanti, untuk lebih meningkatkan kesadaran dalam dirinya masing-masing.
Manusia yang sedang berada di atas, tidak selamanya berada di atas. Hidup ini seperti berada di atas sebuah bola, bundar dan selalu berputar. Selalu terjadi pertukaran tempat antara kaum yang “kebetulan” sedang tertawa di atas, dengan kaum yang “sialnya” sedang menangis di bawah. Untuk itu, janganlah berpuas hati, janganlah lupa diri atas semua yang telah di dapat. Ingatlah awal dari semua perjuangan yang telah dilakukan, ingatlah saat kita sedang berada di bawah dan “mengemis” demi suatu tujuan.
Menurut Indah, menulis dapat menghilangkan perasaan terkekang ataupun sedih yang sedang menimpa seseorang. Ia dapat menuangkan emosinya ke dalam secarik kertas dan membiarkan pena di tangannya menari gemulai memancarkan pesonanya. Dalam menulis, Indah mementingkan “gizi”dari tulisan itu, dengan penghayatan yang mendalam dan susunan kata yang tepat sesuai seperti apa yang ingin Indah sampaikan ke pembaca. Baginya, kehidupan dalam suatu tulisan adalah segalanya.
***
Keren!!
BalasHapus(menurut saya,seorang awam yang sedang mencoba meraba cerita serta memilah milih kata untuk dapat dirangkai menjadi suatu kalimat yang "menggugah" pembaca. Dan pengen banget bisa menulis dengan baik and memberi inspirasi...) ^_^
Wah, terima kasih banyak Mas
BalasHapus:) sukses deh buat Mas.
hehe
WOW !! Keren kak O.o *garuk-garuk meja* *gigit jari*
BalasHapusMerangkai kata-katanya bagus nian kak.. Kok biso sih? *loh*
Ay, kk ni kyknya mmg berbakat jadi penulis!! :D
alhamdulillah
BalasHapus:) makasih banyak dek y
sukses dah buat semuanya
amin
Nah yang ini keren nian.... SUERrrrrrrrrrrR.....
BalasHapusO.o
Kog biso sih???
Semoga sukses selalu kak.....
:) waduh, terima kasih banyak y dek
BalasHapusAmin,
semoga do'a kita terkabul.
Sukses buat kita semua
Saya belum bisa menulis cerita dengan baik dan runut,, still belajar.. :)
BalasHapusSemangat ya. Dream LESS, write MORE
BalasHapus:)