Sabtu, 13 September 2014

Indonesia bukan Bangsa Kuli!


     Dalam salah satu pidatonya yang bergelora, Bung Karno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli!”
     Seringkali kita menganggap bahwa pendidikan karakter adalah suatu hal yang tidak perlu di era modern. Perkembangan tata cara bersosialisasi dengan lingkungan sekitar seakan melunturkan nilai-nilai kepribadian dan karakter bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Konsep kemanusiaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial adalah beberapa dari nilai Pancasila yang seakan dikesampingkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan pribadi, termasuk yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter negara maju seperti kejujuran, tauladan, dan integritas.


     Pemerintah Indonesia telah meluncurkan 18 nilai karakter yang dirumuskan oleh Dinas Pendidikan Nasional. Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, telah menentukan “Pendidikan Karakter untuk Keberadaban Bangsa” untuk disisipkan pada kurikulum pendidikan sejak tahun 2011. Adapun 18 nilai karakter tersebut antara lain: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab.
     Melihat peluncuran 18 nilai karakter ini sudah memasuki tahun ketiga, apakah sudah diterapkan pada proses belajar-mengajar di tiap jenjang lembaga pendidikan? Atau mungkin justru siswa sendiri belum tahu tentang 18 karakter yang dimaksud? Jika begitu, mengapa pemerintah terkesan pasif dalam penyebaran informasi perihal kehadiran 18 nilai karakter yang dicanangkan oleh Dinas Pendidikan Nasional ini? Tidak seperti informasi tentang penyalahgunaan kekuasaan yang selalu dibahas tak kunjung henti oleh media. Padahal kita tahu bahwa salah satu sarana penyebaran informasi dan doktrin yang efektif adalah melalui media, baik media cetak atau elektronik.
     Kita sebagai warga negara Indonesia yang peduli dengan krisis karakter yang sedang menimpa bangsa ini tidak bisa hanya prihatin dan menunggu pahlawan super datang merubah kondisi Bumi Pertiwi. Bila kita tahu pemerintah “kesulitan” dalam mengakomodir nilai-nilai karakter ini, dan kita tahu bahwa lembaga pendidikan terkesan “angin lalu” menyisipkannya dalam proses pembelajaran, maka adalah tugas kita sebagai generasi yang menginginkan perubahan untuk ikut menanamkan 18 karakter ini. Tanggung jawab kita untuk berperan aktif “membangkitkan” kembali nilai-nilai karakter yang terkandung dalam ideologi bangsa, yaitu Pancasila, yang tercermin dalam 18 nilai karakter tersebut.
     Sebagaimana negara-negara yang sempat terkena krisis moral seperti Cina dan Jepang, mereka mampu bangkit dari keterpurukan karena masyarakatnya memiliki karakter dan jati diri bangsa yang tebal sehingga dapat membuat bangsanya menjauhi degradasi moral. Indonesia pun pernah mengalami krisis yang mempengaruhi alur kehadiran bangsa yang dimulai sejak era reformasi. Sudah 15 tahun bangsa ini menjalani reformasi, tetapi semakin jauh seakan semakin meninggalkan harapan dan cita-cita reformasi yang mendambakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
     Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya akan potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Orang Indonesia tidak sedikit yang cerdas, bahkan semakin banyak orang Indonesia yang berprestasi tidak hanya di level nasional, namun sampai ke tingkat internasional. Keadaan yang demikian semakin menguatkan label bangsa Indonesia sebagai “gudangnya” sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak kalah dari negara-negara maju. Ini adalah potensi yang luar biasa untuk menahbiskan Indonesia menjadi negara maju apabila didukung dengan karakter masyarakatnya yang teguh memegang prinsip-prinsip Pancasila.
     Bila Cina dan Jepang mampu bangkit karena nilai-nilai karakter yang kuat diajarkan dalam tiap sendi kehidupan bermasyarakat (bottom up) serta ketauladanan serta komitmen yang kuat dari para pemimpin bangsa (top down), maka Indonesia pun harus menerapkan hal tersebut agar character building yang didambakan tidak sekedar wacana dan menjadi program hangat-hangat tahi ayam.
     Sudah mulai banyak para pemimpin bangsa yang gencar menekankan akan pentingnya pendidikan karakter, baik dalam seminar maupun pidatonya. Mereka juga semakin terdorong untuk “bersih” dalam bekerja dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Tentu hal ini harus kita dukung dari bawah (bottom up) agar terjadi sinkronisasi antara pemerintah dan rakyat yang bekerja sama dan satu pemikiran untuk lebih menanamkan nilai-nilai karakter bangsa melalui pengamalan 18 karakter di atas. 
     Sebagai masyarakat Indonesia yang peduli akan hal ini, ada baiknya bila sejalan dengan slogan Talk Less Do More yang berarti lakukan tindakan lebih banyak daripada hanya berucap. Dalam Islam juga pernah disampaikan bahwa satu ketauladanan lebih baik dari seribu perkataan. Inilah pe-er kita sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Tanam dan implementasikan nilai-nilai luhur Pancasila. Glorifikasikan 18 nilai karakter ini melalui sarana yang ada. Ubah mindset dan karakter kita untuk mulai menjauhi karakter pembodohan yang justru akan menenggelamkan bangsa ini. Atau bahkan lebih parah, menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli!
     Character building harus ditanamkan pada jiwa tiap warga Indonesia mulai saat ini juga. Lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya pun mengatakan “...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya...” yang menunjukkan bahwa yang harus dibangun pertama kali adalah “jiwanya”. Tumbuhkan komitmen untuk membangun jiwa bangsa yang berkarakter dalam relung hati kita. Mari bersama-sama kita tumbuhkan kepedulian akan masa depan Bumi Pertiwi. Bagaimana anak cucu kita nanti apabila bangsa Indonesia semakin terpuruk? Apakah kita tega melihat mereka menanggung keapatisan kita di masa lalu sehingga mereka diremehkan oleh negara lain dan disebut bangsa kuli? (*don)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar