Selasa, 15 Desember 2009

Kisah Pena Mungil : 1 Muharram 1431 H

“Wah, bentar lagi tanggal 18 Desember nih. Kita mesti siap-siap.” kata Penghapus sehabis membaca surat kabar yang ditemukannya di bawah meja mereka. Surat kabar itu tertanggal 8 Desember, dan di dalamnya terdapat sebuah kalender hitung mundur Tahun baru Umat Islam. “Berarti sebentar lagi dong.” Pikirnya dalam hati.

“Apanya yang sebentar lagi?” tanya Pensil yang dari tadi sibuk membetulkan “rambut”-nya.

“Itu lho, Tahun Baru Umat Islam, 1431 Hijriah. Kamu tau kan?” tanya Penghapus saat ia telah duduk diatas tempat duduk kesayangannya.

“Tau sih. Tapi aku masih bingung apa sih maknanya bagi umat Islam?” balas Pensil setelah selesai berdandan.

“Mmm, kalo itu aku juga gak tau. Gimana kalo kita Tanya sama Pena? Dia pasti tau tuh.” ajak Penghapus.

Belum sempat mereka mencari, Pena sudah tiba di hadapan mereka sambil menenteng buku kecil kesayangannya.

“Ada apa nih nyariin?” tanya Pena seolah tidak tau alasan Pensil dan Penghapus mencari dirinya. Padahal, ia mendengar percakapan singkat mereka tadi.

“Begini, sebentar lagi kan Tahun Baru Islam. Nah, si Pensil mau nanya sesuatu.” terang Penghapus menceritakan maksud dan tujuan mereka mencari Pena.

“Memangnya kamu mau nanya apa?” tanya Pena sesaat sebelum mereka semua duduk lesehan di atas meja.

“Tadi kan si Penghapus bilang kita mesti siap-siap karena bentar lagi Tahun Baru Islam. Yang mau Pensil tanyain, apa sih makna Tahun Baru Islam bagi penganut agama Allah ini?” balas Pensil menyampaikan pertanyaannya.

“Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin. Di zaman sekarang, biasanya Tahun Baru Islam dirayakan dengan berbagai acara yang berbeda tiap daerah. Ada yang membuat acara pengajian yang diselingi dengan nyanyian qosidahan, ada yang berkumpul di tempat yang sepi nan sunyi untuk merenungi terhadap amal-amal perbuatan yang telah ia lakukan selama satu tahun, ada di antara kaum muslimin yang berkumpul di masjid jami’ mengadakan acara muhasabah. Prosesi acara tersebut dimulai dari seusai shalat ’Isya dengan diadakan siraman rohani kemudian para peserta tidur, pada sepertiga malam mereka bangun guna melaksanakan shalat malam. Setelah itu, seorang pemandu memberikan wejangan dan petuah hingga sebagian besar para peserta menangis.” Terang Pena menjelaskan.

“Terus, apa hukumnya merayakan hari Tahun Baru Islam?” tanya balik Penghapus.

“Hukum merayakan Tahun Baru Islam adalah tidak boleh. Karena perbuatan tersebut tidak ada dasarnnya dalam Islam, dan perbuatan itu menyerupai kebiasaan kaum kafir.” Lanjut Pena.

“Kalau begitu, apa tindakan kita sebagai umat Muslim guna menyikapi datangnya Tahun Baru Islam?” Pensil semakin penasaran.

“Tindakan yang mesti kita lakukan sebaiknya kita mengintrospeksi dengan apa yang telah kita perbuat. Pertahankan apa yang baik, dan segera tinggalkan apa saja yang bersifat jelek. Dan tidak perlu merayakannya berlebihan, karena beresiko melanggar larangan Allah. ” Pena mengakhiri penjelasannya.

“Oh, kalau begitu, kita tidak mesti siap-siap. Hanya siapkan hati dan jiwa untuk menyongsong tahun depan yang lebih baik. Amin.” tutup Pensil sambil mengangguk-ngangguk tanda mengerti.

Air Mataku

Air Mataku

Setiap kubertemu denganmu
Tak kuasa hati ini menahan haru
Seolah mengambang tak menentu
Dan kemudian hilang ditelan sang waktu

Semua kini telah berbeda
Hatimu seolah membeku
Tak sanggup kubertanya
Ada apa gerangan dirimu?
Kau tak peduli dengan diriku
Seolah tidak menganggap diriku ada
Kau hanya menatap semu
Kuingin menjerit, kuingin menangis
Kuingin kau mengerti
Hatiku terluka, hatiku bersimbah air mata
Namun hanya pandangan fana yang kuterima
Dan kuhanya bisa menatap dirimu, dari kejauhan

Minggu, 13 Desember 2009

Kisah Pena Mungil : Penggaris



Pena yang sedang asik membaca surat kabar tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya sebuah penggaris ke dalam kotak pensil yang telah dianggap rumah baginya. Ternyata penggaris itu baru dibuang oleh seseorang karena tampak penggaris itu telah using.
“Permisi,” sapa Penggaris ramah.
“Ya, ada apa ya?” tanya Pena sembari membalikkan badannya.
“Anu, saya baru tiba disini. Jadi saya mau cari tempat tinggal. Boleh tidak saya tinggal sementara di sini?” izin Penggaris kepada Pena.
“Wah, boleh juga tuh. Kan enak, jadi rame rumah kita,” tiba-tiba Penghapus datang dan segera merangkul Penggaris.
“Ya udah. Gak apa-apa kamu tinggal disini. Lagian disini cuma ada 4 penghuni. Jadi masih muat buat 1 penghuni lagi,” jawab Pena diiringi senyuman Penggaris.
“Terima kasih. Semoga saya bisa membantu kalian disini,” lanjut Penggaris berterima kasih.
“Ngomong-ngomong , kenapa kamu dibuang? Padahal kamu masih bisa dipakai mereka,” tanya Penghapus ingin tahu.
“Begini. Saya dibuang karena saya terlalu banyak meluruskan  masalah. Sehingga banyak Penghapus-Penghapus di luar sana yang iri dan berusaha menendang saya dari mereka. Padahal, para Pensil dan Pena telah banyak yang terbantu oleh saya. Semua masalah yang timbul telah kami luruskan bersama. Namun Penghapus-Penghapus yang jahat itu kemudian menfitnah saya. Akhirnya saya dibuang walaupun saya masih bisa digunakan,” terang Penggaris panjang lebar menceritakan alasan kenapa ia dibuang.
“Oh, begitu ya. Terus bagaimana nasib Pensil dan Pena yang kau tinggalkan?” tanya Pena.
“Mereka tampaknya telah termakan hasutan Penghapus-Penghapus itu. Sehingga masalah yang timbul dapat terhapus dengan mudah, tanpa diluruskan terlebih dahulu. Seolah tidak lagi membutuhkan Penggaris yang meluruskan masalah. Mereka seenaknya mempermainkan hukum. Saya kecewa. Mestinya Penghapus-Penghapus itu membantu Penggaris dalam memecahkan masalah, tapi apa boleh buat,” lanjut Penggaris.
Pena kemudian mengangguk-ngangguk seolah mengerti. Tiba-tiba Pena angkat bicara,
“Memang di dunia ini selalu  ada yang benar dan ada yang salah. Ada yang pura-pura benar dan ada juga yang pura-pura salah. Semuanya hanyalah topeng semata. Sialnya, Si Benar selalu dipermainkan, seperti anak kecil yang mudah disuruh-suruh. Tinggal bagaimana cara kita sabagai Si Benar menyikapi hal seperti ini,” Pena memberikan pendapatnya mengenai fenomena yang terjadi di luar sana.
“Kita harus sabar. Berdo’a kepada Yang Maha Kuasa. Semoga Si Salah dan Si Pura-Pura Benar mendapat hidayah, menyadari apa yang telah mereka perbuat,” tiba-tiba Penghapus membalas pendapat Pena.
“Amin,” sambung Pena dan Penggaris serentak.


Kesenjangan

Kesenjangan
( oleh: doni )

Lelah hatiku kini
Mengejar mimpi yang fana
Menanti mimpi yang semu
Seolah tak kunjung menghampiri

Telah kugali ilmu
Telah kulahap materi
Demi tercapainya sebuah angan
Yang membakar gelora di hati

Tak henti aku mencoba
Dan tak lelah aku mencari
Namun kini semua mentah
Tertutup oleh kabut keraguan

Seolah sebuah pertanda
Mengisyaratkan untuk mengubur mimpiku dalam-dalam
Menguji batin seorang yang lemah
Mengapa semua orang berkata begitu?

Mungkin hanya semangat dan niatku yang mampu menjawabnya
Tetapi kapan?
Harapan tak kunjung singgah
Hanyalah angin lalu yang menghampiri

Sabtu, 12 Desember 2009

Kisah Pena Mungil : Bosan

Suatu hari, hiduplah sebuah Pena mungil yang tinggal di sebuah kotak pensil kumuh berwarna hitam abu-abu. Ia tinggal bersama sebuah Pensil, dan sepasang Penghapus kembar. Mereka hidup bersama, sejak mereka masih "baru" di dunia mereka. Kira-kira, sudah 2 tahun mereka mendiami kotak pensil itu.

"Pen, bosen gak hidup kayak gini terus?" tanya Pensil saat mereka sedang berbaring santai di atas meja.

"Gak tuh, kenapa? Kamu bosen ya?" jawab Pena sambil bertanya balik kepada Pensil.

"Yaiyalah bosen. Hidup ini cuma buat ngapus doang! Gak ada kerjaan lain," timpal penghapus dari bawah meja.

"Emang kenapa bosen? Kan mulia tuh, menghapus sesuatu yanng salah," jawab Pena.

"Iya sih, tapi kan capek juga. Masa jejak Pensil yang dihapus terus?" timpal Pensil.

Pena mungil itu kemudian berdiri dan menulis sebuah kata pendek di atas meja.

"Coba kamu tulis juga," pinta Pena kepada Pensil.

Pensil yang tidak mengerti maksud Pena hanya mengikuti permintaan Pena. Akhirnya, terciptalah duplikat jejak Pena yang berada persis di sebelah jejak si Pena tadi.

"Penghapus, coba kamu hapus jejak ini," kata Pena sembari menunjuk jejak Pensil.

Setelah menghapus jejak tersebut, Pena kemudian menyampaikan pesan-pesan yang terkandung.

"Begini. Kehidupan telah diciptakan oleh Sang Pencipta bagi makhluk-Nya agar saling bahu-membahu. Saling berguna satu sama lain. Apabila salah satu dari mereka ada yang tidak saling membantu, tentu akan mengakibatkan ketidakseimbangan hubungan antar makhluk tersebut. Contohnya, apabila di dunia ini tidak ada Penghapus, siapa yang akan menghapus jejak Pensil? Contoh lain, apabila di dunia ini tidak ada Pena, tentu jejak Pensil akan selalu terhapus oleh Penghapus. Oleh karena itu, bersyukurlah atas apa yang telah diberikan-Nya kepada kita. Jangan pernah menyesal dan merasa bosan dengan kehidupan kita, karena sama saja kita menyalahkan Sang Pencipta," terang Pena kepada Pensil dan Penghapus.

"Tapi bagaimana agar kita tidak merasa bosan?" tanya Pensil.

"Buatlah variasi dalam kehidupan kalian masing-masing. Contohnya, Pensil memvariasikan gaya "rambut"-nya agar sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak akan merasa bosan. Penghapus memvariasikan "bentuk tubuh"-nya sehingga lebih kelihatan menggugah dibanding yang lain," jawab Pena dengan bijak.

"Oo, gitu toh. Makasih ya Pena. Ini tentu bermanfaat bagi kami untuk di masa yang akan datang," ucap Penghapus sambil mengangguk-ngangguk.

"Sama-sama. Yang penting, bekerja samalah. Saling membantu dan saling mengisi. Selain itu, optimislah dalam menempuh kehidupan. Jangan menyerah apabila merasa putus asa, karena kesuksesan yang didapat setelah melalui fase putus asa, akan lebih indah. Setuju?" tanya Pena kemudian.

"Setuju!" jawab Pensil dan Penghapus serentak.

Jumat, 11 Desember 2009

Alasan Saya Tertarik Menulis

Sebenarnya saya sehari-hari hidup seperti biasa. Hal yang paling menonjol dari kegiatan saya hanyalah pusing, pusing, dan pusing. Tapi semuanya berubah setelah membaca sebuah buku di perpustakaan sekolah saat sedang iseng mencari bahan untuk penelitian.

Waktu itu waktu untuk istirahat bagi seluruh warga sekolah. Saya hanya iseng-iseng pergi ke perpustakaan karena ingin mencari buku sumber untuk BUGEMM saya. Ketika saya mencari buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian saya, saya melirik sebuah buku tulisan Pak Bambang Trim yang bertemakan tentang mimpi menjadi penulis. Saya kemudian meminjam buku itu untuk mengetahui apa saja isi buku tersebut.

Ketika buku itu saya buka dan saya baca di rumah, seakan seluruh gagasan ataupun perasaan yang selama ini mandek di kepala saya terpecah, meluap-luap tak terkira. Saya begitu menggebu-gebu untuk membaca buku itu. Seolah seluruh kepala saya diberitahukan sesuatu, dibisikkan sesuatu, yang membuat saya saat itu merinding. Semua bulu kuduk saya berdiri, tak tahu apa penyebabnya.

Sejak membaca buku itu, saya semakin giat ke perpustakaan untuk mencari buku-buku yanng bersangkutan. Sampai posting ini diterbitkan, saya telah membaca lebih dari 20 buku yang berkaitan tentang menulis. Mulai dari karya Pak Arswendo, Pak Pracoyol, Gola Gong, dan lainnya. Tentu baru 20 buku untuk satu tema bukanlah hal yang cukup. Saya tetap merasa masih hijau, karena saya baru terjun ke dunia tulis-menulis kira-kira 5 bulan yang lalu.

Saya mulai menulis dari hal yang sederhana. Saya memilih jenis cerpen untuk tulisan pertama saya. Cerpen itu telah saya ikutkan ke salah satu lomba. Saya juga telah menulis beberapa cerpen ringan, yang dikhususkan bagi pembaca anak-anak. Sampai sekarang, saya telah mengirim cerpen-cerpen saya ke beberapa majalah dan koran setempat, namun hasilnya nihil. hehe

Namun karena hal inilah, saya semakin termotivasi untuk terus menulis. Terbukti, 2 naskah novel final telah saya buat, namun belum saya serahkan ke penerbit karena masalah waktu. Saya memang sekolah di salah satu sekolah favorit di Palembang. Pulangnya saja jam 4 sore, sehingga saya tidak sempat untuk mengunjungi atau menghubungi penerbit dan redaksi.

Sekilas mengenai asal mula saya mencintai tulis-menulis, semoga bermanfaat bagi kita semua!

Kamis, 10 Desember 2009

Promosikan tulisanmu!

          Salah satu yang wajib dilakukan bagi penulis apabila ia telah menghasilkan sebuah tulisan :
 "PROMOSIKANLAH"
          Karena, tidak berarti apabila tulisan yang telah Anda hasilkan hanya di simpan di dalam lemari. Cobalah untuk mempublikasikannya. Langkah yang bisa dilakukan oleh  Anda yang masih malu-malu untuk mempublikasikan karya Anda, antara lain:
1. Mintalah satu atau dua orang untuk membaca tulisan Anda;
2. Dengarkan masukan-masukan dari mereka;
3. Kemudian ambilah secara garis besar kesimpulan yang Anda dengar dari teman Anda tersebut;
4. Apabila mereka merespons positif, tentu akan semakin merangsang Anda untuk terus berkarya;
5. Apabila respons dari mereka negatif, jangan putus asa! Kajilah kembali apa-apa saja yang ada di dalam tulisan Anda. Apabila ada, segeralah perbaiki! Jangan menunda-nunda, karena nanti tulisan Anda akan berubah secara drastis!
          Jika hal itu telah Anda lakukan, mintalah paling banyak 5 orang terdekat Anda untuk membaca karya Anda dan memberikan masukan (karena apabila dibaca oleh terlalu banyak orang, kurang memiliki "taste" lagi) .
          Apabila mereka juga merespons positif, cobalah untuk memberikan tulisan Anda ke penerbit. Pilihlah terlebih dahulu penerbit mana yang cocok dengan tulisan Anda. Apabila cocok, jangan ragu untuk mengirimnya. Percayalah pada diri Anda sendiri!
          Banyak-banyaklah berkomunikasi dengan orang yang berkompeten di bidang ini, karena akan menambah ilmu dan masukan bagi Anda. Jangan lupa untuk tetap membaca. Karena membaca adalah makanan sehari-hari seorang Penulis Yang Handal!

Rabu, 02 Desember 2009

Sekilas tentang Buku

Buku
          (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
          Buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman. Seiring dengan perkembangan dalam bidang dunia informatika, kini dikenal pula istilah e-book atau buku-e (buku elektronik), yang mengandalkan komputer dan Internet (jika aksesnya online).
          Ada berbagai sumber yang menguak sejarah tentang buku. Buku pertama disebutkan lahir di Mesir pada tahun 2400-an SM setelah orang Mesir menciptakan kertas papirus. Kertas papirus yang berisi tulisan ini digulung dan gulungan tersebut merupakan bentuk buku yang pertama. Ada pula yang mengatakan buku sudah ada sejak zaman Sang Budha di Kamboja karena pada saat itu Sang Budha menuliskan wahyunya di atas daun dan kemudian membacanya berulang-ulang. Berabad-abad kemudian di Cina, para cendekiawan menuliskan ilmu-ilmunya di atas lidi yang diikatkan menjadi satu. Hal tersebut mempengaruhi sistem penulisan di Cina di mana huruf-huruf Cina dituliskan secara vertikal yaitu dari atas ke bawah.
          Buku yang terbuat dari kertas baru ada setelah Cina berhasil menciptakan kertas pada tahun 200-an SM. Kertas membawa banyak perubahan pada dunia. Pedagang muslim membawa teknologi penciptaan kertas dari Cina ke Eropa pada awal abad 11 Masehi. Disinilah industri kertas bertambah maju. Apalagi dengan diciptakannya mesin cetak oleh Gutenberg perkambangan dan penyebaran buku mengalami revolusi. Kertas yang ringan dan dapat bertahan lama dikumpulkan menjadi satu dan terciptalah buku.
          Pecinta buku biasanya dijuluki sebagai seorang bibliofil atau kutu buku.
          Beberapa contoh buku:
* novel
* majalah
* kamus
* komik
* ensiklopedia
* buku kesehatan
* buku agama Islam

Si Cerdik “Muhajjir” (dongeng)

SI CERDIK
“MUHAJJIR”
(Oleh : Ahmad Doni Meidianto)

Zaman dahulu, ada seorang santri kecil yang sangat cerdik. Namanya Ahmad Muhajjir. Ia terkenal sampai ke kalangan “atas” karena kecerdikannya dalam memecahkan suatu masalah. Hingga suatu hari seorang tokoh masyarakat bernama Sholihin yang mendengar tentang kecerdikannya itu, ingin mengujinya dengan memberikan sebuah soal yang sulit.
“Harimau dalam lukisan ini selalu keluar ketika malam hari dan membuat semua orang takut. Nah, saudara Muhajjir. Tolong ikat harimau ini biar ia tidak keluar lagi dari lukisan,” tanya Pak Sholihin sambil menunjuk sebuah lukisan berukuran besar yang berada di sampingnya.
Muhajjir yang sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan itu, lantas mengambil sejumlah tali yang akan digunakannya untuk mengikat harimau tersebut.
“Kalau begitu, kita tunggu sampai hari gelap. Dan ketika harimau ini keluar dari lukisan ini, akan saya tangkap,” jawab Muhajjir dengan bersemangat.
Pak Sholihin yang hanya meguji kecerdikan Muhajjir lantas memberikan penghargaan kepadanya berupa sanjungan.
“Kamu memang sangat cerdik,” puji Pak Sholihin sambil tersenyum.
Walaupun Muhajjir begitu disanjung oleh banyak kalangan, tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar ilmu agama. Ia memang rajin membaca buku-buku yang berkaitan dengan hal itu dan mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya.
***
“Muhajjir!” seru seorang paman memanggilnya dari kejauhan sambil berlari ke arahnya.
“Ada apa?” tanya Muhajjir dengan nada lembut.
“A…anak saya diculik oleh penculik. Penculiknya menuntut tebusan uang yang akan ditukarkan dengan putriku. Kata mereka tempatnya dapat kau tentukan sendiri,” terang sang paman kepada Muhajjir dengan suara memelas.
“Mereka menyuruhku mengutus anak yang tidak membahayakan untuk membawa uang tebusannya. Oleh karena itu aku mohon, selamatkan putriku,” sambung paman itu sambil meneteskan air mata.
“Aku mengerti,” jawab Muhajjir singkat.
Mungkin yang terlintas di pikiran Muhajjir saat itu adalah cara teraman untuk menyelamatkan sang anak tanpa menyerahkan uang tebusan sedikitpun. Sejak saat itu, Muhajjir mulai menyusun rencana yang sangat sulit untuk disadari oleh penculik itu.
Ia memilih peternakan sapi sebagai tempat pertukaran. Karena menurutnya, rencana yang telah ia buat akan berhasil bila dibantu oleh sekawanan sapi.
***
Malam itu, Muhajjir telah menunggu penculik tersebut di bawah sebuah pohon rimbun yang berada persis di tengah-tengah peternakan itu. Muhajjir berencana, ketika sang penculik tiba dan membawa si anak ketempat pertukaran, ayah dari anak yang diculik itu akan memberi isyarat kepada sekawanan sapi yang telah siap untuk berlari melintasi tempat pertukaran itu. Si penculik diharapkan terpaku pada segerombol sapi tersebut dan sejenak melupakan tentang tawanan yang dibawanya. Saat itulah ayah dari anak tersebut akan merebut anaknya dan pergi bersama Muhajjir meninggalkan tempat itu. Tentunya dengan suara lonceng sebagai isyarat kepada sapi-sapi tersebut.
Tak lama kemudian, datanglah seorang lelaki membawa karung berukuran besar di pundaknya. Ternyata isi karung tersebut adalah anak yang diculik.
“Maaf sudah lama menunggu,” sapa penculik itu berlagak bersahabat.
Penculik itu langsung mengancam Muhajjir untuk tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan, karena ia akan langsung membunuh sang anak apabila ia melakukan sedikitpun gerak-gerik mencurigakan.
“Kalau kau coba-coba berbuat hal yang mencurigakan, aku akan langsung membunuh anak ini!” gertak si penculik sambil mengacungkan sebuah pisau yang panjangnya relatif pendek.
Ayah dari sang anak itu pun lantas memberi isyarat kepada sapi-sapi tersebut untuk berlari menerjang si penculik.
Teng-teng-teng!
Terdengar suara lonceng dari arah kejauhan mengisyaratkan kepada Muhajjir bahwa rencananya telah dimulai. Namun di luar dugaan, penculik itu lantas mengarahkan pisaunya ke leher Muhajjir dan mengancam akan membunuhnya.
“Apa yang kau lakukan?! Lekas beritahu aku!” bentak penculik itu dengan nada mengancam.
Muhajjir berpikir sejenak, siasat apa yang akan digunakannya demi mengecoh penculik ini. Ia memutar otak dengan cepat guna menyelamatkan sang anak yang berada di dalam karung. Akhirnya, terpikirlah satu-satunya ide yang menurutnya dapat menipu sang penculik.
“Sapi-sapi itu mengira isi karung yang kau bawa itu adalah rumput sebagai pakan kesukaan mereka. Tentu mereka akan terus mengejarmu sampai keinginan sapi-sapi itu terpenuhi,”jawab Muhajjir singkat sambil tetap berhati-hati dalam mengeluarkan jawaban agar si penculik tidak merasa curiga dengan siasatnya kali ini.
Penculik itu lantas segera berlari tanpa mengomentari sedikitpun jawaban Muhajjir sambil tetap membawa karung berisikan sang anak. Namun karena karung itu terlalu berat untuk ia bawa, sementara sapi-sapi terus mengejar dari belakang, penculik itu pun meninggalkan karung tersebut di tengah pelariannya menyelamatkan diri dari sekawanan sapi.
Akhirnya, Muhajjir dapat menyelamatkan sang anak tanpa menyerahkan uang tebusan sepeser pun. Berkat kecerdikannya dalam berpikir saat situasi mendesak, ia berhasil mengecoh penculik tersebut.
“Kau berhasil menolong putriku. Akan paman sebarkan berita ini ke seluruh penjuru negeri, bahwa Muhajjir adalah seorang anak yang cerdik dan berhati baik.
Sejak saat itu, nama Muhajjir semakin terukir kokoh sebagai seorang anak yang cerdas dan menguasai ilmu agama, dan tentunya menjadi panutan anak-anak disekitarnya dalam menuntut ilmu.
***

Pangeran Wahid Shaleh

PANGERAN WAHID SHALEH
( Oleh : Ahmad Doni Meidianto )

           “Penyerahan tahta dari Sang Raja kepada Sang Pangeran dilaksanakan 2 minggu lagi! Dan kepada. . . .” Menteri Zainal membacakan pengumuman di tengah alun-alun kota Gizawa.
           Masyarakat yang medengar pengumuman itu berharap Kerajaan mengundang seluruh rakyatnya karena mereka ingin sekali melihat Sang Pangeran yang dikenal ramah dan santun itu menempati posisi teratas di negeri tersebut. Kota Gizawa merupakan ibu kota dari negeri Qasdir yang terletak di belahan bumi bagian timur persis di sebelah Laut Hitam.
           Pangeran yang sebentar lagi akan dinobatkan menjadi raja itu bernama Wahid Shaleh. Ia merupakan keturunan satu-satunya dari Raja Shaleh Abdullah yang telah memimpin kerajaan selama lebih dari 20 tahun. Kini usiannya yang telah beranjak tua mengisyaratkan kepadanya untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada anak semata wayangnya yang tentunya telah ia didik menjadi seorang pemimpin yang arif dan bijaksana.
          Pangeran Wahid Saleh memang telah menunjukkan tanda-tanda kesiapannya dalam memimpin kerajaan. Itu diperlihatkannya ketika ia sering membantu prajurit-prajurit menyusun strategi dan mengayomi masyarakat dengan tidak segan memberikan makanan kepada mereka yang membutuhkan. Karena itulah, rakyat negeri tersebut sangat mencintai dan menyayangi sang Pangeran.
***
          “Ahh, bagaimana kalau saya sejenak merasakan bagaimana menjadi rakyat biasa. Hitung-hitung pengalaman saya sebelum menjadi raja,” pikir Pangeran Wahid ketika sedang mengamati kegiatan masyarakat yang sedang bahu-membahu membangun sebuah Masjid.
           Malam itu, Pangeran Wahid lantas segera berpakaian layaknya mesyarakat biasa dan bergegas menuju ke luar kerajaan dengan diam-diam tanpa diketahui siapa pun. Ia hanya mengenakan pakaian lusuh berwarna putih disertai dengan surban yang setia melindingi kepalanya sehingga penyamarannya sulit diketahui orang lain. Tak lupa ia juga mengenakan sarung berwarna hijau kesayangannya ditemani sandal jepit berwarna biru yang tampaknya tidak cocok lagi disebut sebagai sandal.
          Namun salah satu pengawal kerajaan menyadari sang Pangeran yang keluar dari kerajaan dengan mengendap-endap. Pengawal itu lantas memberitahu sang Raja bahwa sang Pangeran telah keluar dari kerajaan mengenakan pakaian lusuh. Mendengar berita itu, Raja langsung mengerti maksud dari Pangeran dan menyuruh pengawal itu untuk membiarkan sang Pangeran dan bersikap biasa-biasa saja.
          Setibanya Pangeran Wahid di tengah kerumunan warga, ia bergegas mengamati aktivitas rakyatnya pada malam hari. Ada yang masih berdagang, menawarkan jasa, dan sebagainya. Ketika ia tengah asik menikmati pemandangan itu, tiba-tiba seorang nenek meminta tolong kepada Pangeran untuk membawakan kayu bakar yang telah dibelinya barusan ke rumahnya.
          “Hei, tolong bawakan kayu bakar ini kerumah saya,” pinta nenek tersebut.
          Ia mengira Pangeran adalah seorang budak yang biasanya membantu pembeli disekitar pasar. Tentu saja nenek itu tidak mengetahui siapa yang ia suruh untuk mengangkat kayu tesebut.
          Pangeran yang berhati baik itu pun lantas segera mengangkat dan mengantarkan kayu-kayu itu kerumah si nenek. Jarak rumahnya berada cukup jauh dari pasar. Namun Pangeran dengan senang hati membantu rakyatnya tersebut.
          “Tidak usah nek. Saya sudah senang telah membantu nenek,” kata Pangeran kepada si nenek yang hendak memberikan upah jasa pengangkutan tadi. Pangeran pun segera berpamitan karena takut samarannya diketahui rakyatnya.
          Ia kembali berjalan menikmati malam sebagai rakyat biasa. Banyak pelajaran yang bisa ia dapatkan dari petualangannya kali ini, baik dari segi moral maupun akhlak. Menurutnya, tidak semua orang yang berkecukupan berhati “sehat”. Namun sebaliknya, banyak orang yang berhati “bersih” berada di kalangan rakyat biasa. Hal ini semakin memacu semangat sang Pangeran untuk terus mensejahterakan rakyatnya.
          Di tengah perjalanan, ia melihat sekelompok lelaki yang sedang duduk di sebuah warung sambil menenggak berbotol-botol minuman keras. Hal ini membuat hatinya miris akan kelakuan rakyatnya itu. Ia pun memberanikan diri mendekati warung tersebut berniat untuk menegurnya.
          “Hei kalian. Berhentilah berbuat hal ini. Karena sesungguhnya minum minuman keras hanya akan mendatangkan musibah dan penyakit bagi kalian,” nasihat beliau kepada mereka tanpa pandang bulu.
          “Ahh! Ini bukan urusanmu. Sudah, sana pergi. Sebelum kami berubah pikiran untuk membiarkanmu pergi,” ancam salah satu lelaki itu sambil mengacungkan sebilah pisau.
          Sang Pangeran hanya bisa terdiam dan berlalu meninggalkan waarung tersebut. Hatinya sedih, mengapa masih ada rakyatnya yang melanggar perintah Yang Maha Kuasa. Hal ini menjadi pelajaran bagi dirinya untuk tetap mengedepankan nilai-nilai keagamaan dalam memimpin.
          Ia pun melanjutkan pengamatannya terhadap orang-orang yang sebentar lagi menjadi rakyatnya seutuhnya. Tepat pukul 02.00 pagi, Pangeran pulang ke kerajaan. Ia pulang setelah memetik banyak pelajaran berharga dari “kepergiannya” itu. Ia pun tertidur pulas menunggu datangnya pagi yang cerah.
***
          Tibalah hari penobatannya sebagai Raja di negeri itu. Ternyata kerajaan mengundang seluruh rakyatnya untuk menyaksikan acara penyerahan tahta tersebut. Acara tersebut berlangsung khidmat dan tertib. Seluruh rakyat antusias menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi, karena memang biasanya penyerahan tahta dilakukan setelah seorang raja memimpin selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
          Pada sambutannya sebagai Raja yang baru, Raja Wahid menceritakan pengalamannya menjadi rakyat biasa. Ia berterima kasih kepada rakyatnya yang senantiasa mengedepankan ajaran-ajaran Yang Maha Kuasa, dan mengingatkan kepada orang-orang yang melenceng dari ajaran-Nya.
          “Marilah kita bersama-sama membangun negeri ini, dengan menjunjung tinggi nilai dan moral serta akhlak yang di ajarkan-Nya,” pesan Raja Wahid menutup sambutannya.
          Acara dilanjutkan dengan jamuan minuman dan pembagian makanan sehingga berlangsung dengan suasan gembira. Seluruh masyarakat kota Gizawa menikmati indahnya hari tersebut.
***

Pesona Mentari

PESONA MENTARI
( oleh : Ahmad Doni Meidianto )

          “Kamu ngapain sih, kayak orang gila aja,” ujar Bella mengomentari seorang gadis yang duduk di depannya. Ia tengah asyik bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan jarinya walaupun suaranya kadang membesar, kadang pula seperti suara angin membelah keheningan malam. Ditelinganya terpasang ear-phone berwarna putih kesayangannya, dan sayup-sayup terdengar suara lagu yang sedang diputar. Bayangkan, gemericik suaranya terdengar sampai radius 5 meter dari posisi ia duduk. Mungkin hal itu dilakukannya agar ia bisa berkonsentrasi dalam mengolah suaranya, dan sesekali badannya ”berdendang” mengikuti irama musik seperti penyanyi pop papan atas yang tengah bernyanyi di depan ribuan fans setianya.
          Namanya Mentari. Ia lahir dengan sebuah kekurangan yang menjadikannya tidak bisa menyaksikan keindahan dan keanggunan ciptaan-Nya seumur hidup. Ia terlahir dalam keadaan buta alias tunanetra. Konon kabarnya, ia buta karena kesalahan dokter yang tidak sengaja “menyentuh” matanya saat ia baru keluar dari rahim ibunya. Sekarang ia telah berumur 16 tahun, artinya ia bisa bertahan hidup dalam “keterbutaannya” itu dan mampu menjalani kehidupan layaknya “manusia sempurna” lainnya.
          Namun hal itu tidak menjadikannya patah semangat. Ia tetap berusaha menikmati keindahan panorama alam, menjamah pendalaman seseorang, dan membahagiakan kedua orang tua tersayang. Ia selalu mendapat peringkat 3 besar di kelasnya. Hal ini pula yang menjadi daya tarik seorang Mentari terhadap siswa putra lainnya.
***
          “Tari!,” teriak Santi dari kejauhan. Tampak ia berlari tergopoh-gopoh menuju sahabatnya yang sedang duduk santai di sekitaran kantin sekolah.
          “Ada apa sih?” tanyanya dengan nada polos sambil melahap sejumlah gorengan di depannya.
          “Nih, ada surat dari Rio. Kata anak-anak sih, dia suka sama kamu,” jawab Santi disambut dengan senyuman khas Mentari.
          “Jadi kenapa kalo dia suka denganku, mau langsung ngelamar ya?” canda Mentari.
          “Aku masih mau belajar dulu. Males ngurusin masalah kayak gitu. Belum waktunya,” sambungnya sambil mengajak Santi beranjak kembali ke kelas.
          “Gak juga sih. Aku kan cuma ngasih tau kamu doang,” balas Santi dengan wajah memelas sambil membimbing dan menuntun Mentari berjalan.
          “Iya iya. Makasih ya. Kamu emang sahabatku yang setia, selalu bantuin aku dimanapun dan kapanpun,” Mentari berterima kasih kepada sahabatnya yang selalu ada saat diperlukan. Terutama saat di sekolah.
          Santi tinggal tidak jauh dari rumah Mentari, sehingga ibunya menitipkan Mentari untuk dibimbing lagkahnya selama menuntut ilmu. Hal ini sangat membantu Mentari untuk mengejar cita-citanya. Meskipun menjadi dokter adalah hal yang mustahil bagi para tunanetra, ia tetap berusaha menjadi “dokter impian” yang mampu mmenyejukkan batinnya dan mennyembuhkan luka di hatinya.
           Teng-teng-teng!
          Terdengar dentangan lonceng menandakan waktu jam belajar telah usai. Seperti biasa, Santi membimbing Mentari pulang menuju rumahnya. Mereka pulang menggunakan mobil antar-jemput yang sengaja disiapkan orang tua Mentari agar ia tak kesulitan dalam urusan transportasi. Ketika mereka berjalan menuju ke mobil, Rio memanggil Santi dengan menepuk pundaknya. Ia meminta untuk bertukar menuntun Mentari menuju mobil tanpa bersuara. Santi pun mengangguk tanda setuju.
          “Tari, aku mau ke toilet sebentar ya. Kamu duduk dulu aja disini. Udah kebelet dari tadi,” ujar Santi sambil membimbing Mentari duduk di tempat duduk yang berwarna hijau berada di bawah pohon beringin.
          “Ya udah. Cepetan ya tapi aku takut ntar ada yang gangguin aku,” pinta Mentari sembari duduk membisu menunggu Santi.
          Santi kemudian sepakat untuk membantu Rio. Rio yang menggandeng, Santi yang bersuara untuk bercakap-cakap dengan Mentari tak jauh dari posisi mereka.
           Tak lama kemudian, Santi versi laki-laki yang tentunya itu Rio mulai membimbing Mentari menuju mobil antar jemput yang telah siap.
          “Eh, kok tangan kamu kasar sih kulitnya. Ngapian kamu di toilet?” Tanya Mentari sembari mengernyitkan dahi.
           Rio membisu tak menjawab pertanyaan Mentari. Namun Santi sigap menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
          “Tadi aku cuci tangan. Tapi kayaknya sabunnya yang gak bagus. Maaf ya Tar,” jawab Santi berlagak menjadi si empunya tangan.
          Rio mesem-mesem dan tersenyum dikulum saat Mentari semakin erat memegang tangannya. Mungkin Mentari ingin menjelajahi kenapa tangan Santi dapat berubah menjadi kasar hanya dalam waktu kurang dari 15 menit. Di pikirannya banyak pertanyaan yang timbul, tapi apa daya, ia tak bisa memastikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Santi jadi-jadian itu pun lantas membimbing Mentari menuju ke mobil.
***
          Keesokan harinya, Mentari kembali menerima surat dari Rio. Isinya yah, tentang kisah remaja pada umumnya.

Wajahmu sanggup membuat matahari tak nerhenti bersinar
Kilau senyummu sanggup membuat bunga-bunga tumbuhberpenjar
Sungguh, kau telah menjebak hatiku
Kau telah mengurung cintaku
Dan kau telah membakar kobaran api cintaku

          Itulah sepenggal puisi yang disisipkan dalam surat tersebut. Namun Mentari tetap bersikap dingin ketika Santi memmbacakan isi surat itu kepadanya. Seperti biasa, maksud yang ingin disampaikan Rio tetap bertepuk sebelah tangan.
***
          Hari demi hari Mentari tak menyahut uluran tangan dari Rio. Seolah sudah tahu maksudnya, Mentari tetap cuek atas apa yang telah Rio perbuat untuknya. Mulai dari kata-kata romantis, rayuan-rayuan, dan sebagainya. Mentari pun menjadikan hal itu sebagai makanan sehari-harinya. Hingga suatu hari, tak terdengar satupun untaian kata dari Rio.
          Mentari yang sedikit merasakan keganjilan karena hilangnya sesuatu, lantas menanyakan hal itu kepada Santi.
          “San, Rio kemana ya? Kok gak kedengeran lagi rayuan-rayuan basinya,” tanya Mentari dengan sedikit maksud bercanda.
          “Gak tau juga sih. Ntar aku tanyain deh. Kenapa, kangen ya?” sindir Santi sedikit menyinggung.
          “Gak kok. Siapa bilang kangen. Bosen kali,” jawab Mentari kesal.
          Setelah ditanya perihal itu, ternyata Rio pindah lantaran ikut orang tuanya yang pindah kerja ke luar negeri. Mentari pun yang semul a acuh dengan semua tentang Rio tiba-tiba merasa kesepian. Tak ada lagi yang menggombal, tak ada lagi yang merayu, tak ada lagi suara mesra yang menggetarkan hati. Itulah pesona Mentari.

***

In My Dream?

IN MY DREAM?
(oleh : Ahmad Doni Meidianto)
 
           “Nadin, tau gak tanggal 20 ntar kita ikut pelatihan pengurus OSIS? Tingkat SMA se-Jawa Barat lho,” tanya Nova pada seorang cewek berkulit putih dan berambut panjang yang sedang sibuk melahap bakso kesukaannya di kantin Bu Mar.
           “Serius?! Berarti kamu juga ikut kan?” jawabnya saraya mengunyah bakso telor yang nyesek di mulutnya.
          “Yaiyalah. Tapi cuma kita berdua. Ketua sama sekretarisnya doang,” balas Nova sambil mempeerlihatkan surat tugas dari sekolah.
          “Kita disana nginep 6 hari. Kegiatannya sih macem-macem. Mulai dari pemberian materi dasar kepemimpinan, sampe seru-seruan pas diskusi kelompok. Ada outbond nya juga lho,” lanjut Nova dengan semangat menggebu-gebu.
          “Emm, ya udah deh. Ntar aku tanya papa sama mama dulu ya, dibolehin apa gak,” jawab Niadin santai sambil mengambil dan memasukkan surat tugas itu ke dalam tasnya yang berwarna coklat keemasan.
          “Pokoknya seru deh. Rugi kalo kita gak ikut,” lanjut Nova bermaksud membujuk Nadin.
***
          “Wah, serem bener nih asrama. Jalan kesini aja rada angker. Tapi lumayanlah, tidurnya di spring bed,” gumam Nadin sambil meletakkan tas di kamar bertuliskan “A16”.
          “Kamu dari daerah mana? Namaku Soraya. Biasa dipanggil Sora,” sapa seorang cewek dari arah belakang sambil mengulurkan tangan.
          “Ah, iya. Namaku Nadin. Utusan dari kota Bandung. Kamu dari daerah mana?” balas Nadin seraya menjabat tangan Sora.
          “Aku dari daerah Garut. Oh iya, dari sekolah kamu ngirim berapa pengurus OSIS?” lanjut Soraya mempersilahkan Nadin duduk di spring bed yang empuk berwarna krem muda.
          “Kami cuma berdua. Satu ketua, satu lagi sekretaris. Nah, yang ketuanya anak cowok. Namanya Nova,” Nadin mencoba mengakrabkan diri.
          “Kalo kami sih dua orang juga. Sama kayak kamu, satu ketua, satu lagi sekretaris. Ketuanya juga anak cowok. Namanya Dika,” sambung Soraya seolah tak mau kalah.
          “Ya udah. Semoga kita bisa jadi sahabat yang saling membantu,” harap Nadin sambil merebahkan badan bermaksud untuk beristirahat. Kebetulan Nadin tiba di asrama pukuk 20.45, jadi ia ingin langsung istirahat guna bersiap menyongsong 6 hari ke depan yang belum diketahuinya bersama teman-teman barunya.
***
          “Dipersilahkan kepada adik-adik sekalian bila ingin bertanya perihal materi kita pada siang hari ini,” narasumber memberikan kesempatan bertanya kepada seluruh siswa yang hadir, dan tentunya mereka semua merupakan pengurus OSIS dari sekolah masing-masing.
          Sejurus kemudian, seorang siswa putra mengangkat tangan hendak bertanya mengenai materi yang telah disampaikan. Sejak saat itu, Nadin mengenal siswa tersebut dengan nama Dika.
          “Ah, berarti dia ketua OSIS-nya sekolah Soraya,” pikir Nadin dalam hati.
          Wajahnya tidak terlalu tampan. Bahkan dapat dikategorikan biasa-biasa saja. Tingginya pun hanya sekitar 168 cm. Namun “aura” yang dipancarkan Dika membuat hati Nadin penuh dengan tanda tanya. Seolah tertarik dengan rupanya yang tergolong manis, Nadin memberanikan diri bertanya kepada Soraya tentang siswa itu.
          “Ooh.. Jadi kamu pengen kenalan ya? Tapi dia udah punya cewek lho. Gimana, masih mau coba?” tanya Soraya sembari mengedip-ngedipkan mata.
          “Emm, boleh deh. Tapi aku titip salam aja ya. Bilang ke dia, ada salam dari salah satu peserta putri yang penasaran sama dia,” jawab Nadin malu-malu.
          Sejak malam itu, hari-hari yang tersisa semakin terasa berat setelah hadirnya seorang Dika di benaknya. Nadin merasa sulit menjawab rasa penasaran itu sebelum ia becakap langsung dengan yang bersangkutan. Kebetulan saat itu Nadin sedang jomblo alias free. Memang Nadin sedang menanti hadirnya seseorang yang setidaknya mampu menyembuhkan luka yang dibuat oleh seorang cowok 4 bulan silam.
***
          “Hai, kamu yang namanya Nadin ya? Kata Soraya kamu lagi perlu pena. Nih. . .” sapa Dika sembari memberikan sebuah pena bertuliskan Hi-Tech berwarna hitam.
          “I. .i. .iya. Makasih ya,” jawab Nadin terbata-bata sambil menerima pinjaman pena dari Dika.
          “Huh, dasar si Soraya. Masa gini dia nyapanya. Kan gak seru,” gumam Nadin sambil menuju ke tempat duduk dan siap untuk menerima materi kembali.
***
           Malam harinya, Dika ternyata ingin bertemu dengan Soraya untuk membahas pelajaran di sekolah. Kebetulan malam itu tidak ada penyampaian materi kepada peserta. Hal ini tidak dilewatkan oleh Nadin untuk menyelidiki sejauh mana pengetahuannya tentang Dika.
          “Mau belajar bareng gak?” ajak Dika sembari tersenyum.
          “Boleh,” sahut Nadin bersemangat.
           Mereka bertiga pun berbagi pengalaman mengenai pelajaran yang telah dipelajari di sekolah. Ternyata materi di sekolah Dika dan Soraya sudah jauh meninggalkan materi di sekolah Nadin, sehingga Nadin hanya bisa terdiam menyaksikan mereka berdua belajar bersama.
          Sekitar pukul 21.00, mereka beranjak kembali ke kamar masing-masing. Setelah berpamitan, Nadin bergegas masuk ke kamarnya. Ternyata walaupun sudah bertatap muka dan berbincang langsung dengan orang yang selama ini di selidiki, tidak menyurutkan rasa penasaran Nadin terhadap Dika.
          Hari demi hari terasa begitu cepat seolah ingin meninggalkan rasa penasaran Nadin ditelan oleh sang waktu. Tak terasa tibalah hari perpisahan dimana seluruh peserta dipersilahkan untuk kembali ke daerah masing-masing karena materi yang di siapkan telah disampaikan semuanya kepada peserta. Nadin merasa sedih akan datangnya hari itu, karena baginya perpisahan itu akan semakin membuat hatinya penasaran.
         “Sampai bertemu lain kali ya, Nadin,” Dika mengucapkan kalimat terakhir sebelum mereka semua kembali ke rumah masing-masing.
         “Ya, sampai ketemu juga ya,” jawab Nadin memberikan senyuman terakhir sejadi-jadinya kepada Dika.
          Mungkin itulah sosok seseorang yang akan terus merasuki hati Nadin diiringa dengan beribu tanda tanya tentang dirinya. Ia berharap akan ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu kelak, walaupun yang menjawabnya bukan orang yang bersangkutan. Namun ia juga pesimis akan tibanya jawaban-jawaban itu. Who can answer my question? Maybe it only in my dream.

Kini, tibalah saatnya kita kan berpisah
Berpisah dengan teman-teman seperjuangan
Kalau ada kesalahan mohon dimaafkan
Sejiwa janji kita untuk selama-lamanya

***

Nenek Jamilah

NENEK JAMILAH
(Oleh : Ahmad Doni Meidianto )

          “Hei, ada nenek Jamilah!” seru Tono sambil menunjuk seorang nenek yang sedang menyapu.dedaunan di halaman rumahnya.
         “Hati-hati! Nenek itu orangnya galak. Rupanya aja serem, gimana suaranya ya?” sambung Andi memberi peringatan kepada Edwin yang sedang bersiap memanjat pohon mangga persis di sebelah rumah nenek itu.
          Kebetulan 3 rumah di deretan daerah itu adalah kepunyaan nenek Jamilah. Kabarnya rumah-rumah itu peninggalan suaminya yang wafat karena sakit jantung dahulu. Tapi sampai sekarang belum ada yang mau mengontrak ataupun menunggu rumah-rumah tersebut.
         “Tapi kata ayah, nenek Jamilah itu orangnya baik lho. Walaupun wajahnya seram, tapi hatinya selembut kapas. Dia gak mau ada orang yang mencuri, tapi kalau orang itu meminta kepadanya, pasti diberinya. Percaya deh,” terang Edwin kepada Tono dan Andi sambil beranjak turun kemudian mengajak mereka untuk menghampiri Nenek Jamilah.
          “Permisi Nek, selamat pagi,” sapa Edwin ramah.
          “Pagi juga. Ada apa ya nak pagi-pagi udah ngasih salam?” tanya nenek Jamilah dengan suara sedikit parau sembari tersenyum kepada anak-anak yang berada di depannya.
          Tono dan Andi hanya terpaku melihat senyuman nenek Jamilah. Ternyata senyum nenek Jamilah manis juga, pikir mereka dalam hati.
          “Begini Nek. Kami mau minta izin dengan Nenek. Boleh tidak kami minta sedikit buah mangga kepunyaan Nenek yang ada disebelah? Teman-teman saya juga mau minta, tapi tak berani,” jelas Edwin kepada nenek Jamilah.
          “Oh, kalau begitu ambillah berapa pun yang anak-anak mau. Asal jangan pohonnya juga yang dibawa,” canda nenek Jamilah diikuti senyuman darinya maupun anak-anak itu.
          “Makasih ya Nek. Kami cuma mau minta dua buah kok, gak lebih,” jawab Tono dengan bersemangat setelah mengumpulkan keberanian di hatinya.
          “Ya sudah. Tunggu apa lagi,” sambung Andi bergegas mengambil buah mangga yang sudah arum di atas pohon itu.
          “Hati-hati ya kalian,” jawab nenek Jamilah sambil meneruskan pekerjaannya membersihkan halaman rumahnya.
***
          Suatu pagi, tepatnya hari Minggu, nenek Jamilah yang hanya mengenakan pakaian daster hendak pergi ke pasar. Ia pergi dengan berjalan kaki sekaligus berniat menjaga kesehatan tubuhnya agar tetap bugar.
          Ditengah perjalanan, nenek Jamilah melihat seorang lelaki tua renta dan kelihatannya ia buta, yang hendak menyeberang jalan. Namun tak seorangpun menyadari keberadaaan kakek tersebut, seolah tidak dianggap oleh orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.
          Nenek Jamilah bergegas menghampiri lelaki tersebut bermaksud membantuya menyeberang jalan. Memang nenek Jamilah tergolong orang tua yang masih kuat berjalan, sehingga tidak menyulitkan orang-orang disekitarnya. Namun ketika nenek Jamilah sedang menuntun lelaki tua itu ke pinggir jalan, seorang laki-laki merampas tas yang dibawanya dan berlari meninggalkan mereka. Nenek Jamilah yang kaget lantas berteriak copet walaupun suaranya tidak terlalu kedengaran orang-orang disekitarnya.
          Tiba-tiba Andi dan Tono serta Edwin yang kebetulan lewat di sekitar tempat kejadian langsung mengejar pencopet itu. Edwin yang merupakan pelari terbaik dari sekolahnya dengan cepat telah mendekati pencopet itu. Dengan satu gerakan mencungkil, ditendangnya kaki pencopet itu hingga jatuh terjerembab. Anto dan Andi serentak mengambil tas nenek Jamilah yang ada di tangan pencopet itu, dilanjutkan melepaskan jurus-jurus karate yang mereka pelajari di sekolah.
          Sontak pencopet itu melindungi badannya dengan kedua tangan yang terlihat telah terluka akibat jatuh terjerembab tadi. Tak sampai 10 detik, warga yang ikut mengejar pencopet itu langsung menghadiahi berbagai macam tinju maupun tendangan kepada si pencopet. Namun tak berapa lama, petugas yang berada di sekitar pasar itu langsung mengamankan si pencopet dari amukan massa menuju ke pos polisi terdekat.
          Edwin dan Andi serta Tono langsung menghampiri nenek Jamilah dan memberikan tas kepunyaannya yang telah sempat ‘mampir’ di tangan pencopet. Kemudian dengan inisiatif sendiri, Edwin segera membantu kakek tua yang hendak menyeberang tersebut hingga tiba di seberang jalan.
          Nenek Jamilah hanya bisa tersenyum lega atas kesigapan anak-anak itu membantu dirinya. Dia menilai, ketiga anak itu memiliki jiwa ksatria dan berhati baik. Mereka tidak ragu untuk menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan, walaupun harus menyeka keringat yang membasahi wajah polos mereka.
          “Terima kasih ya nak,” itulah kalimat yang terucap dari bibir nenek Jamilah kemudian melanjutkan aktifitasnya seperti biasa.
***
          Semenjak kejadian itu, hubungan anak-anak tersebut dengan nenek Jamilah semakin dekat. Mereka kerap bercanda bersama di depan halaman rumah nenek Jamilah pada pagi hari. Tak jarang juga sepiring pisang goreng dan teh manis menemani mereka menikmati cerahnya mentari pagi.
          Andi dan Edwin serta Tono kini berpandangan lain terhadap nenek Jamilah. Walaupun menurut masyarakat sekitar nenek itu tidak ramah, itu hanya sebatas melihat dari penampilannya saja. Nenek Jamilah ternyata orang yang murah senyum dan tak segan membantu orang lain.
          Ia juga termasuk orang yang sabar. Tak lupa ia selalu mengingatkan remaja-remaja maupun anak-anak di sekitar rumahnya untuk tidak melakukan tindakan mencuri. Karena menurut nenek Jamilah, mencuri hanya mendatangkan materi sesaaat, tidak selamanya.
          Selain itu, mencuri dapat merusak kepercayaan yang telah diberikan orang lain terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, jagalah moral dan kepercayaan yang telah terbentuk dalam diri setiap manusia. Hindari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan masalah maupun bencana yang tentunya akan merugikan orang tersebut.
***

Kehidupan Dalam Tulisanku

KEHIDUPAN DALAM TULISANKU
( oleh : Ahmad Doni Meidianto )

          Senja itu terasa berbeda. Matahari bersinar dengan anggun dan angin leluasa menari bebas di tengah suasana kota Palembang yang sejuk. Tampak seorang remaja tengah sibuk menulis karangan cerpen di kamarnya yang sempit diiringi alunan music slow menggunakan ear-phone. Remaja itu bernama Indah, siswi di salah satu sekolah yang tergolong “biasa” di Palembang. Suara helaan nafas seringkali memecah keheningan diiringi sekaan peluh yang membasahi wajahnya.
          Sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Indah memang sudah terpikat dengan dunia tulis-menulis. Buku-buku yang “berbau” itu pun telah banyak yang ia “lahap,” dan tak lupa ia juga rajin “berseluncur ria” di dunia maya demi bertambahnya ilmu di bidang jurnalistik tersebut. Ia memang bercita-cita menjadi penulis profesional, hingga kelak namanya takkan hilang ditelan oleh sang waktu.
          Memang sesekali tulisan yang ia kirimkan dimuat di surat kabar setempat, bahkan tidak jarang ia mendapat “bayaran” dari tulisannya itu. Hal itu dilakukan demi menuntaskan kebutuhan psikologisnya, dan kalau “beruntung”, ia dapat mengurangi beban orang tuanya setidaknya dalam hal uang saku. Namun kali ini motivasinya berbeda. Ia ingin mempersembahkan cerpennya untuk sahabat yang tertimpa bencana, terkhusus kepada mereka yang terguncang gempa di daaerah Sumatera Barat. Ya, Indah merasa sangat sedih ketika mendengar berita dari bencana tersebut. Ia terbayang wajah anak-anak yang harus kehilangan tempat tinggal dan kasih sayang kedua orang tuanya akibat ditelan sang bumi.
         “Indah, makan sini, ayo. Bareng ayah,” panggil ibunya dari arah ruang makan yang sedang menyiapkan hidangan malam.
          Indah pun bergegas menuju ke ruang makan. Tiba-tiba, ia teringat tentang sebuah perlombaan menulis yang diadakan oleh majalah Marella. Lomba tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu lomba menulis dongeng dan lomba menulis cerpen. Ia pun memilih mengikuti perlombaan menulis cerpen ketimbang menulis dongeng, karena menurutnya, menulis cerpen cakupannya bisa lebih luas dari dongeng.
          “Bu, liat majalah Marella yang dikamar gak? Indah nyariin dari tadi kok gak ada,” tanya Indah sambil melahap masakan olahan ibunya.
          “Oh, ada di kamar ibu. Tadi ibu pinjem buat liat resep masakannya. Nanti ambil aja di kamar ibu,” jawab ibunya.
          Selesai santap malam bersama ayah dan ibunya, Indah langsung mencari majalah tersebut dan mulai memutar otak agar tulisannya dapat dimuat di majalah itu. Tujuannya agar para pembaca sadar bahwa mereka semua bersaudara dan nantinya berbondong-bondong membantu saudara-saudara mereka yang tertimpa musibah, tidak melupakan atau membiarkan mereka “terkapar” tak berarti. Itulah harapan yang ada di benak Indah.
***
          Keesokan harinya, Indah tidak pergi ke sekolah karena badannya terindikasi terserang penyakit tipes, sehingga ia memiliki banyak waktu luang untuk membimbing penanya membuat sebuah tulisan yang kelak menggerakkan hati bangsa. Ia mengangkat dilema masyarakat Sumatera Barat dan membalutnya dengan kalimat-kalimat yang menggugah “selera” masyarakat Indonesia, khususnya pembaca. Tak lupa ia tuliskan saran dan masukan bagi bangsa Indonesia untuk berperan aktif dalam upaya membantu saudara sebangsa dan setanah air.
          Tak terasa, matahari tengah berada pada puncak klimaks menerangi bumi menandakan hari sudah siang. Terdengar suara anak-anak kecil berlalu lalang di sekitar rumahnya seolah mengisyaratkan kepada Indah untuk berhenti sejenak.
          “Selamat siang. . .”
          “Indahnya ada tante?” terdengar seseorang bertanya kepada ibu Indah.
          “Oh, ada. Sebentar ya, tante panggilkan dulu. Kamu duduk aja di dalem, nanti tante buatin minuman” kata ibu Indah seraya mempersilahkan orang tersebut masuk dan bergegas menuju ke kamar Indah.
          Indah yang memang sudah tahu kedatangan seseorang melalui suaranya itu, bergegas menuju ke ruang tamu. Ibunya pun langsung menuju ke dapur untuk membuatkan minuman.
          “Oh, Mira. Apa kabar? Ngapain kamu kesini, kangen ya sama aku,” canda Indah dengan suara sedikit bergetar karena merasa kedinginan.
          “Bisa aja kamu. Denger-denger, kamu kena gejala tipes ya? Nih, aku bawain catatan pelajaran di sekolah tadi. Daripada kamu ketinggalan, gak seru dong kalo kamu gak masuk 3 besar di kelas,” jawab Mira santai sambil meminum minuman yang dibuatkan ibu Indah.
          “Iya sih. Makasih ya Mir. Kamu emang sahabat aku yang top-cer deh,” balas Indah dibarengi senyuman sejuk sehingga membuat suasana siang itu sangat bersahabat.
          Selesai mereka bercanda tawa sejenak, Mira pun berpamitan untuk pulang. Tak lupa ucapan terima kasihnya kepada Mira mengalir dari mulut Indah di akhiri dengan pelukan hangat. Indah pun kembali melanjutkan aktifitasnya setelah selesai makan siang yang ditemani ibunya.
          Sampai matahari bersembunyi dan meneruskan pembagian cahaya kepada makhluk-Nya di belahan bumi lainnya, akhirnya cerpen karya Indah pun selesai. Indah merasa puas bercampur was-was berharap cerpennya akan dimuat di majalah Marella dan mengubah sudut pandang pembaca tercinta. Akhirnya ia memilih besok hari untuk memberikan cerpennya kepada panitia sepulang sekolah.
***
          Sepulang sekolah, Indah langsung menuju ke kantor bagian redaksi dari majalah Marella. Setelah menyater ojek selama 10 menit, ia pun tiba di depan sebuah gedung bertingkat 3 yang berada persis di pinggir jalan. Setelah memantapkan serta membulatkan tekadnya, ia segera masuk ke dalam gedung itu dan langsung mencari bagian redaksi penerbitan majalah tersebut. Ternyata, telah banyak orang-orang sebayanya, atau bahkan lebih tua dan lebih muda darinya telah berbaris menunggu giliran untuk menyerahkan cerpennya ke penerbit. Indah dengan sabar menunggu antrian tersebut sambil berbisik kepada dirinya bahwa karyanya tidak akan kalah “sehat” dibandingkan karya penulis-penulis lainnya.
          Tak terasa, Indah pun mendapatkan gilirannya untuk menyerahkan naskah cerpennya kepada penerbit. Ia langsung masuk dan duduk untuk menyerahkan cerpennya, disertai penjelasan mengenai tujuan dan isi cerpen tersebut. Diluar dugaannya, penerbit merespons positif karya Indah itu. Namun masih perlu dipertimbangkan lagi oleh penerbit dengan meminta saran dari para juri-juri yang lain dan tentunya berpengalaman.
          “Tunggu aja di Marella 2 minggu ke depan,” kata penerbit menutup pembicaraan seolah menimbulkan harapan di hati Indah.
          Indah pun pulang ke rumah dengan hati gembira, namun tetap berharap cerpennya dimuat majalah itu. Walaupun penerbit sepertinya merespon positif karyanya, Indah memilih untuk tidak takabur atas apa yang dirasakannya barusan. Akhirnya, ia sampai di rumah dan memulai kembali aktifitasnya seperti biasa sambil menunggu pengumuman pemenang lomba tersebut.
***
         Tibalah hari pengumuman itu, tepat 1 minggu setelah redaksi menutup penerimaan tulisan perlombaan tersebut. Sepulang sekolah, Indah langsung membeli majalah Marella di kios majalah terdekat lantaran ingin melihat pemenang-pemenang dari perlombaan yang diikutinya. Setelah majalah itu sudah berada di tangannya, ia sibuk membolak-balik halaman majalah itu untuk mencari pengumuman pemenang.

Pengumuman Pemenang Lomba Menulis Cerpen se-Indonesia
Tahun 2009
Juara 1 : Suci Larasati ( Menangis )
Juara 2 : Indah Dwi Ningsih ( Persaudaraan Yang Tercemar )
Juara 3 : Bella Nur Hais ( Roman Sejati )
Juara 4 : Fadhil Rizky ( “AKU” )
Juara 5 : Septian Agustino ( Seindah Pelangi )

          Itulah yang Indah baca dari pengumuman pemenang lomba itu. Ia “hanya” mendapat juara 2 dari perlombaan itu, dan beruntung, cerpen karyanya akan dimuat pada edisi Marella selanjutnya 1 minggu lagi. Serta ia pun berhak mendapat penghargaan berupa uang sebesar Rp. 500.000,00. Hal ini menjadi acuan bagi dirinya, untuk terus berkarya dan mempersembahkan sesuatu kepada orang yang disayanginya. Indah tidak kecewa, tapi tidak juga merasa senang. Hatinya bingung bercampur puas, seolah ada sesuatu yang meluap dalam dirinya, tak terasa ia pun meneteskan air mata. Ia terharu bercampur sedih, akhirnya tulisan yang menurutnya dapat menginspirasi para pembacanya dimuat dalam majalah itu. Ia berharap kepada calon pembacanya nanti, untuk lebih meningkatkan kesadaran dalam dirinya masing-masing.
          Manusia yang sedang berada di atas, tidak selamanya berada di atas. Hidup ini seperti berada di atas sebuah bola, bundar dan selalu berputar. Selalu terjadi pertukaran tempat antara kaum yang “kebetulan” sedang tertawa di atas, dengan kaum yang “sialnya” sedang menangis di bawah. Untuk itu, janganlah berpuas hati, janganlah lupa diri atas semua yang telah di dapat. Ingatlah awal dari semua perjuangan yang telah dilakukan, ingatlah saat kita sedang berada di bawah dan “mengemis” demi suatu tujuan.
          Menurut Indah, menulis dapat menghilangkan perasaan terkekang ataupun sedih yang sedang menimpa seseorang. Ia dapat menuangkan emosinya ke dalam secarik kertas dan membiarkan pena di tangannya menari gemulai memancarkan pesonanya. Dalam menulis, Indah mementingkan “gizi”dari tulisan itu, dengan penghayatan yang mendalam dan susunan kata yang tepat sesuai seperti apa yang ingin Indah sampaikan ke pembaca. Baginya, kehidupan dalam suatu tulisan adalah segalanya.
***