Rabu, 02 Desember 2009

Nenek Jamilah

NENEK JAMILAH
(Oleh : Ahmad Doni Meidianto )

          “Hei, ada nenek Jamilah!” seru Tono sambil menunjuk seorang nenek yang sedang menyapu.dedaunan di halaman rumahnya.
         “Hati-hati! Nenek itu orangnya galak. Rupanya aja serem, gimana suaranya ya?” sambung Andi memberi peringatan kepada Edwin yang sedang bersiap memanjat pohon mangga persis di sebelah rumah nenek itu.
          Kebetulan 3 rumah di deretan daerah itu adalah kepunyaan nenek Jamilah. Kabarnya rumah-rumah itu peninggalan suaminya yang wafat karena sakit jantung dahulu. Tapi sampai sekarang belum ada yang mau mengontrak ataupun menunggu rumah-rumah tersebut.
         “Tapi kata ayah, nenek Jamilah itu orangnya baik lho. Walaupun wajahnya seram, tapi hatinya selembut kapas. Dia gak mau ada orang yang mencuri, tapi kalau orang itu meminta kepadanya, pasti diberinya. Percaya deh,” terang Edwin kepada Tono dan Andi sambil beranjak turun kemudian mengajak mereka untuk menghampiri Nenek Jamilah.
          “Permisi Nek, selamat pagi,” sapa Edwin ramah.
          “Pagi juga. Ada apa ya nak pagi-pagi udah ngasih salam?” tanya nenek Jamilah dengan suara sedikit parau sembari tersenyum kepada anak-anak yang berada di depannya.
          Tono dan Andi hanya terpaku melihat senyuman nenek Jamilah. Ternyata senyum nenek Jamilah manis juga, pikir mereka dalam hati.
          “Begini Nek. Kami mau minta izin dengan Nenek. Boleh tidak kami minta sedikit buah mangga kepunyaan Nenek yang ada disebelah? Teman-teman saya juga mau minta, tapi tak berani,” jelas Edwin kepada nenek Jamilah.
          “Oh, kalau begitu ambillah berapa pun yang anak-anak mau. Asal jangan pohonnya juga yang dibawa,” canda nenek Jamilah diikuti senyuman darinya maupun anak-anak itu.
          “Makasih ya Nek. Kami cuma mau minta dua buah kok, gak lebih,” jawab Tono dengan bersemangat setelah mengumpulkan keberanian di hatinya.
          “Ya sudah. Tunggu apa lagi,” sambung Andi bergegas mengambil buah mangga yang sudah arum di atas pohon itu.
          “Hati-hati ya kalian,” jawab nenek Jamilah sambil meneruskan pekerjaannya membersihkan halaman rumahnya.
***
          Suatu pagi, tepatnya hari Minggu, nenek Jamilah yang hanya mengenakan pakaian daster hendak pergi ke pasar. Ia pergi dengan berjalan kaki sekaligus berniat menjaga kesehatan tubuhnya agar tetap bugar.
          Ditengah perjalanan, nenek Jamilah melihat seorang lelaki tua renta dan kelihatannya ia buta, yang hendak menyeberang jalan. Namun tak seorangpun menyadari keberadaaan kakek tersebut, seolah tidak dianggap oleh orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.
          Nenek Jamilah bergegas menghampiri lelaki tersebut bermaksud membantuya menyeberang jalan. Memang nenek Jamilah tergolong orang tua yang masih kuat berjalan, sehingga tidak menyulitkan orang-orang disekitarnya. Namun ketika nenek Jamilah sedang menuntun lelaki tua itu ke pinggir jalan, seorang laki-laki merampas tas yang dibawanya dan berlari meninggalkan mereka. Nenek Jamilah yang kaget lantas berteriak copet walaupun suaranya tidak terlalu kedengaran orang-orang disekitarnya.
          Tiba-tiba Andi dan Tono serta Edwin yang kebetulan lewat di sekitar tempat kejadian langsung mengejar pencopet itu. Edwin yang merupakan pelari terbaik dari sekolahnya dengan cepat telah mendekati pencopet itu. Dengan satu gerakan mencungkil, ditendangnya kaki pencopet itu hingga jatuh terjerembab. Anto dan Andi serentak mengambil tas nenek Jamilah yang ada di tangan pencopet itu, dilanjutkan melepaskan jurus-jurus karate yang mereka pelajari di sekolah.
          Sontak pencopet itu melindungi badannya dengan kedua tangan yang terlihat telah terluka akibat jatuh terjerembab tadi. Tak sampai 10 detik, warga yang ikut mengejar pencopet itu langsung menghadiahi berbagai macam tinju maupun tendangan kepada si pencopet. Namun tak berapa lama, petugas yang berada di sekitar pasar itu langsung mengamankan si pencopet dari amukan massa menuju ke pos polisi terdekat.
          Edwin dan Andi serta Tono langsung menghampiri nenek Jamilah dan memberikan tas kepunyaannya yang telah sempat ‘mampir’ di tangan pencopet. Kemudian dengan inisiatif sendiri, Edwin segera membantu kakek tua yang hendak menyeberang tersebut hingga tiba di seberang jalan.
          Nenek Jamilah hanya bisa tersenyum lega atas kesigapan anak-anak itu membantu dirinya. Dia menilai, ketiga anak itu memiliki jiwa ksatria dan berhati baik. Mereka tidak ragu untuk menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan, walaupun harus menyeka keringat yang membasahi wajah polos mereka.
          “Terima kasih ya nak,” itulah kalimat yang terucap dari bibir nenek Jamilah kemudian melanjutkan aktifitasnya seperti biasa.
***
          Semenjak kejadian itu, hubungan anak-anak tersebut dengan nenek Jamilah semakin dekat. Mereka kerap bercanda bersama di depan halaman rumah nenek Jamilah pada pagi hari. Tak jarang juga sepiring pisang goreng dan teh manis menemani mereka menikmati cerahnya mentari pagi.
          Andi dan Edwin serta Tono kini berpandangan lain terhadap nenek Jamilah. Walaupun menurut masyarakat sekitar nenek itu tidak ramah, itu hanya sebatas melihat dari penampilannya saja. Nenek Jamilah ternyata orang yang murah senyum dan tak segan membantu orang lain.
          Ia juga termasuk orang yang sabar. Tak lupa ia selalu mengingatkan remaja-remaja maupun anak-anak di sekitar rumahnya untuk tidak melakukan tindakan mencuri. Karena menurut nenek Jamilah, mencuri hanya mendatangkan materi sesaaat, tidak selamanya.
          Selain itu, mencuri dapat merusak kepercayaan yang telah diberikan orang lain terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, jagalah moral dan kepercayaan yang telah terbentuk dalam diri setiap manusia. Hindari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan masalah maupun bencana yang tentunya akan merugikan orang tersebut.
***

2 komentar:

  1. Wah.. cerpen yang bagus... banyak hal yang dapat dijadikan panutan untuk keseharian....
    Tapi kak, jujur aku agak bingung bacanya bukan bingung kayak gimana??, tapi kayaknya temanya kurang menonjol atau emang perasaan aku aja kali ya...
    Tapi selebihnya bagus...

    BalasHapus
  2. Memang seperti itu. Ini cerpen segmennya anak2.
    :) ringan, hanya menggambarkan/menceritakan sepenggal cerita.
    Boleh dibilang ini hanya untuk "mendongeng", sebuah cerita menemani si kecil beranjak tidur.
    Makasih ya komentarnya

    BalasHapus