Rabu, 02 Desember 2009

Pesona Mentari

PESONA MENTARI
( oleh : Ahmad Doni Meidianto )

          “Kamu ngapain sih, kayak orang gila aja,” ujar Bella mengomentari seorang gadis yang duduk di depannya. Ia tengah asyik bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan jarinya walaupun suaranya kadang membesar, kadang pula seperti suara angin membelah keheningan malam. Ditelinganya terpasang ear-phone berwarna putih kesayangannya, dan sayup-sayup terdengar suara lagu yang sedang diputar. Bayangkan, gemericik suaranya terdengar sampai radius 5 meter dari posisi ia duduk. Mungkin hal itu dilakukannya agar ia bisa berkonsentrasi dalam mengolah suaranya, dan sesekali badannya ”berdendang” mengikuti irama musik seperti penyanyi pop papan atas yang tengah bernyanyi di depan ribuan fans setianya.
          Namanya Mentari. Ia lahir dengan sebuah kekurangan yang menjadikannya tidak bisa menyaksikan keindahan dan keanggunan ciptaan-Nya seumur hidup. Ia terlahir dalam keadaan buta alias tunanetra. Konon kabarnya, ia buta karena kesalahan dokter yang tidak sengaja “menyentuh” matanya saat ia baru keluar dari rahim ibunya. Sekarang ia telah berumur 16 tahun, artinya ia bisa bertahan hidup dalam “keterbutaannya” itu dan mampu menjalani kehidupan layaknya “manusia sempurna” lainnya.
          Namun hal itu tidak menjadikannya patah semangat. Ia tetap berusaha menikmati keindahan panorama alam, menjamah pendalaman seseorang, dan membahagiakan kedua orang tua tersayang. Ia selalu mendapat peringkat 3 besar di kelasnya. Hal ini pula yang menjadi daya tarik seorang Mentari terhadap siswa putra lainnya.
***
          “Tari!,” teriak Santi dari kejauhan. Tampak ia berlari tergopoh-gopoh menuju sahabatnya yang sedang duduk santai di sekitaran kantin sekolah.
          “Ada apa sih?” tanyanya dengan nada polos sambil melahap sejumlah gorengan di depannya.
          “Nih, ada surat dari Rio. Kata anak-anak sih, dia suka sama kamu,” jawab Santi disambut dengan senyuman khas Mentari.
          “Jadi kenapa kalo dia suka denganku, mau langsung ngelamar ya?” canda Mentari.
          “Aku masih mau belajar dulu. Males ngurusin masalah kayak gitu. Belum waktunya,” sambungnya sambil mengajak Santi beranjak kembali ke kelas.
          “Gak juga sih. Aku kan cuma ngasih tau kamu doang,” balas Santi dengan wajah memelas sambil membimbing dan menuntun Mentari berjalan.
          “Iya iya. Makasih ya. Kamu emang sahabatku yang setia, selalu bantuin aku dimanapun dan kapanpun,” Mentari berterima kasih kepada sahabatnya yang selalu ada saat diperlukan. Terutama saat di sekolah.
          Santi tinggal tidak jauh dari rumah Mentari, sehingga ibunya menitipkan Mentari untuk dibimbing lagkahnya selama menuntut ilmu. Hal ini sangat membantu Mentari untuk mengejar cita-citanya. Meskipun menjadi dokter adalah hal yang mustahil bagi para tunanetra, ia tetap berusaha menjadi “dokter impian” yang mampu mmenyejukkan batinnya dan mennyembuhkan luka di hatinya.
           Teng-teng-teng!
          Terdengar dentangan lonceng menandakan waktu jam belajar telah usai. Seperti biasa, Santi membimbing Mentari pulang menuju rumahnya. Mereka pulang menggunakan mobil antar-jemput yang sengaja disiapkan orang tua Mentari agar ia tak kesulitan dalam urusan transportasi. Ketika mereka berjalan menuju ke mobil, Rio memanggil Santi dengan menepuk pundaknya. Ia meminta untuk bertukar menuntun Mentari menuju mobil tanpa bersuara. Santi pun mengangguk tanda setuju.
          “Tari, aku mau ke toilet sebentar ya. Kamu duduk dulu aja disini. Udah kebelet dari tadi,” ujar Santi sambil membimbing Mentari duduk di tempat duduk yang berwarna hijau berada di bawah pohon beringin.
          “Ya udah. Cepetan ya tapi aku takut ntar ada yang gangguin aku,” pinta Mentari sembari duduk membisu menunggu Santi.
          Santi kemudian sepakat untuk membantu Rio. Rio yang menggandeng, Santi yang bersuara untuk bercakap-cakap dengan Mentari tak jauh dari posisi mereka.
           Tak lama kemudian, Santi versi laki-laki yang tentunya itu Rio mulai membimbing Mentari menuju mobil antar jemput yang telah siap.
          “Eh, kok tangan kamu kasar sih kulitnya. Ngapian kamu di toilet?” Tanya Mentari sembari mengernyitkan dahi.
           Rio membisu tak menjawab pertanyaan Mentari. Namun Santi sigap menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
          “Tadi aku cuci tangan. Tapi kayaknya sabunnya yang gak bagus. Maaf ya Tar,” jawab Santi berlagak menjadi si empunya tangan.
          Rio mesem-mesem dan tersenyum dikulum saat Mentari semakin erat memegang tangannya. Mungkin Mentari ingin menjelajahi kenapa tangan Santi dapat berubah menjadi kasar hanya dalam waktu kurang dari 15 menit. Di pikirannya banyak pertanyaan yang timbul, tapi apa daya, ia tak bisa memastikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Santi jadi-jadian itu pun lantas membimbing Mentari menuju ke mobil.
***
          Keesokan harinya, Mentari kembali menerima surat dari Rio. Isinya yah, tentang kisah remaja pada umumnya.

Wajahmu sanggup membuat matahari tak nerhenti bersinar
Kilau senyummu sanggup membuat bunga-bunga tumbuhberpenjar
Sungguh, kau telah menjebak hatiku
Kau telah mengurung cintaku
Dan kau telah membakar kobaran api cintaku

          Itulah sepenggal puisi yang disisipkan dalam surat tersebut. Namun Mentari tetap bersikap dingin ketika Santi memmbacakan isi surat itu kepadanya. Seperti biasa, maksud yang ingin disampaikan Rio tetap bertepuk sebelah tangan.
***
          Hari demi hari Mentari tak menyahut uluran tangan dari Rio. Seolah sudah tahu maksudnya, Mentari tetap cuek atas apa yang telah Rio perbuat untuknya. Mulai dari kata-kata romantis, rayuan-rayuan, dan sebagainya. Mentari pun menjadikan hal itu sebagai makanan sehari-harinya. Hingga suatu hari, tak terdengar satupun untaian kata dari Rio.
          Mentari yang sedikit merasakan keganjilan karena hilangnya sesuatu, lantas menanyakan hal itu kepada Santi.
          “San, Rio kemana ya? Kok gak kedengeran lagi rayuan-rayuan basinya,” tanya Mentari dengan sedikit maksud bercanda.
          “Gak tau juga sih. Ntar aku tanyain deh. Kenapa, kangen ya?” sindir Santi sedikit menyinggung.
          “Gak kok. Siapa bilang kangen. Bosen kali,” jawab Mentari kesal.
          Setelah ditanya perihal itu, ternyata Rio pindah lantaran ikut orang tuanya yang pindah kerja ke luar negeri. Mentari pun yang semul a acuh dengan semua tentang Rio tiba-tiba merasa kesepian. Tak ada lagi yang menggombal, tak ada lagi yang merayu, tak ada lagi suara mesra yang menggetarkan hati. Itulah pesona Mentari.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar